Sepakbola dan Amal jama'i


Peran Amal Jamai dalam Pemenangan Pemilu

            Dalam amal jama’i, hal yang paling penting adalah –seperti kata Ketua Majelis Syuro– bekerja sama, dan sama-sama bekerja. Jadi tidak cukup hanya dengan bekerja sama, tetapi juga sama-sama kerja. Beban jama’ah tidak dipikul semata oleh beberapa individu, atau meletakkan seluruh beban kepada struktur, tetapi seluruh komponen yang terlibat dalam amal jama’i harus ikut berpartisipasi pada seluruh kerja-kerja jama’ah.
Kalau di analogikan, maka amal jama’i bisa dianalogikan seperti sebuah pertandingan sepakbola. Dalam sebuah pertandingan sepakbola, biasanya ada yang menjadi komentator, orang yang kerjanya hanya mengomentari, mengkritik, padahal dia sendiri tidak berusaha sedikitpun. Orang-orang semacam ini pekerjaannya hanya ngomongin orang yang telah susah payah bekerja, sedangkan dia hanya duduk-duduk saja. Dalam dunia politik, mereka adalah para pengamat politik, atau kader maupun simpatisan yang berlagak menjadi pengamat politik, mengkritik jamaah yang telah bekerja, sementara dia duduk mengkritik dengan secangkir kopi di depannya.
Disamping itu, sebagai sebuah tim sepakbola, ada sebelas orang pemain inti dan beberapa pemain cadangan. Dalam jamaah, merekalah para kader inti, di semua level jamaah. Diantara pemain-pemain inti tersebut, ada yang berperan sebagai seorang kipper, gelandang bertahan, gelandang, dan sebagai penyerang.
Kipper adalah orang yang berdiri di barisan paling akhir. Tidak bekerja, kecuali ada yang datang menyerang. Itupun jika sebelum dia bekerja, pekerjaannya telah di handle dengan baik oleh para gelandang bertahan, maka ia akan kembali tidak bekerja dan melihat-lihat sambil menunggu-nunggu. Dalam sebuah jamaah, orang-orang yang berperan sebagai kipper adalah para kader yang harus menunggu perintah untuk bekerja. Tak ada inisiatif, dan cenderung menunggu kerja yang datang menghampirinya, dan bukan membaktikan dirinya untuk bekerja. Itupun ketika dia baru mulai bekerja dan melihat bahwa kader yang lain telah melakukan pekerjaan tersebut, maka dia kembali tidak bekerja sambil berharap kader lain melakukannya dengan baik. Tipikal seperti ini seharusnya tidak boleh banyak dalam sebuah jamaah, karena seperti halnya dalam sebuah tim sepakbola, posisi kipper adalah posisi yang paling sedikit lowongannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, orang-orang seperti ini kadangkala akan sangat diperlukan tenaganya, minimal mengamankan kerja yang telah dilakukan oleh teman-temannya.
Posisi selanjutnya adalah gelandang bertahan. Cenderung tidak mau tampil, lebih sering berada di barisan belakang (walau terkadang maju juga sampai barisan depan dan dengan sangat segera kembali ke barisan belakang), tetapi akan dengan semangat bekerja jika ada serangan yang datang. Mereka cenderung sedikit mengambil inisiatif kerja, tapi jika sedang bekerja, tipikal yang paling disiplin dalam pekerjaannya. Ketika gelandang bertahan lemah, maka hampir dapat diprediksikan, kekalahan akan menghantui tim tersebut. Dalam jamaah, mereka adalah para kader kebanyakan, yang bekerja setelah diperintahkan. Jarang mengambil inisiatif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan, tapi siap siaga jika diminta bekerja. Mereka (bersama para gelandang) adalah penopang utama jamaah. Ketika mereka lemah, dalam artian respon yang lemah atas perintah-perintah dakwah (termasuk dakwah siyasih), maka pergerakan jamaah sedikit banyak akan mengalami gangguan.
Posisi berikutnya adalah gelandang. Posisi ini merupakan posisi yang paling berat, karena tanggung jawab terbesar diletakkan dipundak mereka. Pergerakannya yang paling luas, mencakup hampir seluruh lapangan. Karenanya biasanya diisi oleh banyak orang, orang-orang yang kuat, dan juga orang-orang yang cerdas. Merekalah yang merancang setiap serangan, menyusun strategi, dan sekaligus bekerja tak kenal lelah menyusuri seluruh lapangan. Ketika gelandang tidak berperan optimal, alur serangan akan miskin, dan peran gelandang bertahan akan lemah. Alih-alih akan menang, justru kekalahan akan senantiasa membayang. Dalam jamaah, posisi ini diperankan oleh struktur atau tandzhim, disetiap level partai, baik tandzhim partai maupun yang lainnya. Ketika struktur tidak optimal, seluruh kerja jamaah tidak akan terkontrol rapi, dan peran kader-kader tidak akan maksimal. Sebaliknya, jika posisi struktur bekerja dengan maksimal, maka banyak agenda-agenda yang mampu terlaksanakan dengan baik. Dalam pemilu, peran ini merupakan salah satu peran kunci. Strategi, kesolidan, dan optimalisasi kader menjadi salah satu peran penting yang menjadi tugasnya.
Posisi yang tak kalah penting selanjutnya adalah striker, atau penyerang. Biasanya dalam sebuah tim, merekalah orang-orang yang paling terkenal. Selain mereka adalah pencetak angka-angka kemenangan, mereka juga berada dalam barisan terdepan. Posisi yang paling diincar oleh sebagian pemain. Posisi ini paling menyenangkan, sekaligus yang paling berbahaya. Menyenangkan karena mereka tinggal menunggu operan bola yang disodorkan oleh pemain-pemain lain, dan mencetak angka dengan kemampuan mereka. Walaupun tak jarang mereka juga perlu turun kebelakang. Tetapi posisi ini juga paling berbahaya, karena sering menjadi target incaran pemain belakang lawan untuk dijatuhkan. Posisi ini juga sangat rentan karena benar-benar menjadi tumpuan harapan seluruh tim. Jika tim gagal mencetak kemenangan, maka mereka adalah sasaran paling empuk untuk dicemooh, utamanya oleh para pengamat. Pemain pada posisi ini diperlukan orang yang berani, hebat, sekaligus pintar. Pada jamaah, peran ini dimainkan oleh para anggota legislative. Biasanya merekalah yang paling populer di jamaah.
Satu posisi lagi adalah, para pemain cadangan. Mereka sebenarnya adalah pemain inti, tetapi belum diberikan kesempatan untuk bermain. Tetapi jika diperlukan, mereka akan dengan segera mengambil alih peran-peran yang kosong. Dalam jamaah, mereka adalah kader-kader yang karena satu dan lain hal sehingga tidak bisa terjun langsung. Entah karena PNS, sedang future, atau karena sedang mengalami pengangguran haraki, mereka tidak bisa berperan secara langsung. Tetapi sebagai sebuah sumberdaya, mereka siap untuk digerakkan kapan saja.
Untuk memperoleh kemenangan, seluruh elemen ini harus bersinergi bersama dalam seluruh kerja-kerja jama’i. Adalah tidak bijaksana memberikan seluruh porsi kerja kepada struktur, sama seperti tidak bijaksana juga melimpahkan seluruh beban pada kader. Sehingga, dalam amal jama’i sekali lagi, seluruh elemen bekerja sama, dan sama-sama bekerja.
Dalam pertandingan sepakbola, ada unsur lain di luar tim tersebut. Mereka adalah penonton yang selalu menanti timnya bermain dengan baik. Mereka akan tertawa bersama ketika menang, dan menangis bersama ketika kalah. Tipe penonton ada yang loyal dan tidak perduli dengan apa yang terjadi pada timnya, dia akan tetap mendukungnya. Ada juga yang ketika timnya bermain jelek, kemudian berpindah ke tim lain. Semuanya menuntut untuk dipuaskan dengan permainan yang menarik sekaligus menang. Dalam jamaah, merekalah konstituen kita, para pemilih kita, yang siap menangis bersama kita ketika kalah, dan siap pula tertawa bersama ketika menang.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Ahmadiyah; Antara HAM dan Penistaan Agama



Penistaan Agama Oleh Ahmadiyah
Ahad, 6 Februari 2011, mata internasional kembali tertuju pada sebuah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Negeri yang terkenal dengan keramahannya dan solidaritas antar umat beragama-nya ini kembali terusik dengan kasus penyerangan sekelompok orang tak dikenal terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Penyerangan ini mengakibatkan tewasnya 3 orang pengikut Ahmadiyah dan beberapa lainnya luka-luka. Puluhan LSM dan lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) baik nasional maupun internasional kompak menyuarakan kecaman atas tragedy berdarah ini. Kebebasan beragama atas nama HAM kembali dipertanyakan, dan pemerintah kembali dituntut untuk membubarkan ormas-ormas yang terlibat dalam penyerangan ini.
Bermula dari hadirnya sejumlah orang dari Jakarta dan sekitarnya ke Pandeglang pada sabtu, 5 Februari 2011 dan menantang warga kampong Cikeusik, bentrokan pun tak dapat dihindarkan. Ratusan umat Islam yang tidak terima atas dibacoknya seorang pemuda bernama Sarta hingga lengannya nyaris putus secara spontan menyerbu kompleks Ahmadiyah.
Tragedy berdarah di kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten ini sesungguhnya hanyalah buntut dari polemik tentang keberadaan Ahmadiyah selama ini. Jamaah yang masuk ke Indonesia sejak 1935 ini memang telah mengakibatkan polemik demikian panjang. Polemik yang mengikibatkan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2008, atau lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri, yang lucunya kini menjadi polemik. SKB dinilai beberapa kalangan tidak relevan untuk mengatasi masalah ini, dan Negara dianggap tidak boleh mencampuri urusan keyakinan tiap orang.
Lalu, apa sikap kita terhadap jamaah yang menamakan Ormas Islam ini? Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Dan bagaimana menyikapi kekerasan yang terus dialami oleh Jamaah Ahmadiyah ini?
Terkait sikap kita terhadap Jamaah Ahmadiyah, tidak lepas dari status Ahmadiyah itu sendiri, dan status Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani selaku pendiri jamaah tersebut. Amadiyah atau Al-Qadiyaniyah adalah aliran keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M/1309 H di India. Sebagian kaum Ahmadi menganggapnya sebagi Nabi, sebagian lainnya hanya menyebut sebagai pembaharu (mujaddid). Bagaimana dengan Ghulam Ahmad sendiri? Bagaimana dia memperkenalkan dirinya?
Dalam sebuah catatan kaki pada kitab Tadzkirah, Ghulam Ahmad memperkenalkan dirinya sebagai “Messengers”. Bentuk jamak pada kata messengers ini menurut penjelasannya, adalah karena ia merupakan manifestasi dari semua Nabi. “God Almighty has made me a manifestation of all Prophets, and has given me their names. I am Ibrahim, I am Ishaq, I am Isma’il, I am Ya’qub, I am Yusuf, I am Musa, I am Dawud, I am Isa and I am the perfect manifestation of the name of the Holy Prophet that is to say I am Muhammad and Ahmad by way of reflection.” Demikian Ghulam Ahmad berujar.
Dalam ‘wahyu’ ke 1883 dalam Tadzkirah, tersebut nama Adam, Maryam, dan Ahmad. Namun menurut Ghulam Ahmad, itu bukanlah Nabi Adam a.s dan Maryam, melainkan dirinya. Tentu saja yang paling dikenal luas adalah klaimnya terhadap Nabi Isa a.s. Ghulam Ahmad mengklaim dirinya sebagai kedatangan kedua metaforis dari Nabi Isa a.s.
Menjadi Nabi “by way of reflection” atau “metaforis”  tidak pernah ada dalam khazanah keislaman. Yang ada adalah pewaris para Nabi, yaitu para ulama. Maknanya seputar kewajiban dakwah. Apakah Ghulam Ahmad adalah pewaris Nabi? Ghulam Ahmad dengan jelas mengatakan “..declared that an aggressive 'jihad by the sword' has no place in Islam.” Tentu saja, para ulama tidak bisa menerima klaim ini. Jihad adalah ajaran Islam. Tentu tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan Jihad, namun Jihad adalah ajaran para Nabi. Para ulama sejak dahulu telah keras mengkritisi Ahmadiyah karena sikapnya yang anti Jihad. Sebagian ahli mengatakan bahwa sikap anti jihad ini merupakan bukti bahwa Ahmadiyah adalah boneka penjajah. Pada kenyataannya, ayah Ghulam Ahmad memang dikenal berjasa kepada Inggris. Demikian pula Ghulam Ahmad. Sang ayah pernah memberikan bantuan pasukan berkuda kepada pemerintah kolonial Inggris untuk membasmi ‘pemberontak’.
Dengan beriman pada Rasulullah saw., maka kita pun telah menyatakan beriman pada para Nabi sebelumnya. Sebaliknya, beriman pada orang lain yang disebut sebagai nabi sesudah beliau adalah bukti ketidakberimanan kita pada Rasul saw. Dengan demikian, jelaslah bahwa Ahmadiyah memang sebuah agama yang telah keluar dari ajaran Islam. Tidak beriman pada Rasul saw., mendustakannya, bahkan menganulir syariat jihad yang diajarkannya. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa kita harus menyikapi agama Ahmadiyah sebagai agama Non-Islam.
Jamaah Ahmadiah sejak tahun 1995 telah difatwakan sesat oleh MUI. Fatwa itu kemudian dikuatkan lagi tahun 2005. Sejak saat itu, reaksi penolakan terhadap Ahmadiyah semakin meluas, mengakibatkan munculnya bentrokan di beberapa tempat. Menyikapi hal tersebut, pemerintah mengundang Jamaah Ahmadiyah dan Ormas-ormas Islam untuk duduk bersama, sehingga melahirkan 12 kesepakatan yang ditanda-tangani bersama pada 14 Januari 2008, menyusul dikeluarkannya SKB 3 menteri pada tahun yang sama.
Ada 6 butir dalam SKB tersebut terkait dengan penanganan masalah Ahmadiyah, yang bisa dirangkum menjadi 2 bagian, yaitu Pertama, memerintahkan kepada penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam. Yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya,
Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Sesungguhnya SKB ini sudah cukup adil, dengan mengatur kedua belah pihak. Akan tetapi penerapan dari SKB ini yang masih jauh dari harapan, mengakibatkan peristiwa bentrokan berdarah antara kaum muslimin dengan Jamaah Ahmadiyah tidak bisa terhindarkan.
Setelah memahami status agamanya, kini kita perlu mencermati situasi di lapangan. Berbeda dengan anggapan umum, banyak orang Ahmadi yang tidak mempelajari secara mendalam agamanya sendiri. Sebagian di antara mereka menganggap Ghulam Ahmad sebagai mujaddid. Mereka tidak tahu bahwa ia mengklaim sebagai nabi. Sebagiannya tidak pernah meneliti mimpi-mimpi Ghulam Ahmad yang diceritakan dalam Tadzkirah. Sebagian lagi, karena kekurangtahuannya, tidak memahami kesalahan-kesalahan Ahmadiyah dari perspektif Islam.
Dari pemahaman ini, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian Ahmadi, mungkin sebagian besarnya, adalah ‘korban’. Oleh karena itu, nasihat dari Buya Hamka dalam buku “Pelajaran Agama Islam” nampaknya perlu dikumandangkan kembali. Buya Hamka menjelaskan bahwa Ahmadiyah tidak diragukan lagi memang keluar dari ajaran Islam. Akan tetapi, dalam kerangka dakwah, kita harus berusaha untuk bergaul dengan baik bersama mereka. Sebagian di antara mereka memeluk Ahmadiyah hanya karena warisan orang tua, dan tak ada referensi untuk perbandingan. Siapakah yang tahu siapa di antara mereka yang akan bisa menerima panggilan hidayah?
Para ulama sejak dahulu telah mendebat Ahmadiyah secara intelek. Kekafirannya dinyatakan jelas secara akademis. Adapun cara-cara kekerasan dikhawatirkan justru menutup peluang dakwah, karena hanya melahirkan kebencian. Kita juga perlu mengingat pesan Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam buku “Fiqih Dakwah”-nya yang fenomenal. Dalam amar ma’ruf nahi munkar, kita harus pertimbangkan beberapa kemungkinan. Adakalanya kemaksiatan hilang, berganti dengan kebaikan. Ini yang terbaik. Akan tetapi, bisa saja kemaksiatan yang kita kritisi hilang, berganti dengan kemaksiatan lainnya yang sebanding. Yang paling parah adalah bila kemaksiatan berganti dengan kemaksiatan yang lebih parah. Ini 'kecelakaan’ fatal dalam dakwah. Menyimpangnya hasil dakwah dari tujuan asalnya ini berkaitan erat dengan metodenya. Itulah sebabnya ada fiqih dakwah.
Kita harus menjaga diri dari sikap ekstrem. Baik yang radikal maupun yang liberal sama-sama ekstrem. Mengatakan bahwa Ahmadiyah itu tidak sesat tidak dapat dibenarkan, demikian juga merusak dakwah dengan penggunaan kekerasan. Mari kita pelajari kembali sikap Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan para ulama yang selalu menjaga sikap ‘pertengahan’ ini. Berhati-hatilah dengan sikap ekstrem, karena mudah dimanfaatkan pihak-pihk lain. Sudah berkali-kali intelijen merekayasa gerakan radikal. Kita harus belajar dari sejarah.
Untuk Jamaah Ahmadiyah Indonesia, cara paling baik agar tidak saling mengganggu adalah dengan memproklamirkan diri sebagai agama tersendiri, agama Ahmadiyah, dan bukan bagian dari Islam. Dengan demikian keberadaannya akan dilindungi oleh undang-undang, keyakinannya akan dilindungi oleh HAM, dan umat Islam tidak akan merasa terusik serta bisa hidup berdampingan secara damai. JAI dapat bebas menjalankan ibadahnya, tanpa paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun. Selama JAI masih membawa nama Islam, maka JAI akan terus dianggap melakukan penistaan agama, karena mengajarkan dan mendakwahkan paham yang merusak ajaran agama tertentu.
Dipihak lain, Negara melalui Kejaksaan Agung harus bertindak tegas, dengan menetapkan status hukum bagi organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Dibubarkan, atau membentuk agama baru. Sikap yang mengambang dari pemerintah inilah yang menjadi pemicu dari tindakan main hakim sendiri dari masyarakat.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Manado,     February 2011

Memulai kembali duniaku

Setelah sekian lama hanya berhenti pada perencanaan, kini kucoba tuk kembali kepada duniaku.
Duniaku adalah dunia tempat ku berpijak, tempat ku beraktivitas, dan tempat dimana kuhabiskan hari-hariku.
Lewat halaman-halaman dalam blog ini, ingin kutuangkan segala pengalaman hidupku, dan berbagi dengan semua orang....
Blog ini adalah blog campur aduk.
Disini ingin kutuang pemikiran-pemikiranku, berbagi tentang minatku terhadap Rubik, minatku terhadap Matematika cepat, dan segala hal yang terpikir olehku.
Jadi kalau ditanya apa isi blog ini, jawabannya hanya satu: Inilah duniaku

Dilahirkan di Manado, Sulut, oleh kedua orangtuaku saya dianugerahkan nama Sultan Hasanudin.
Alumnus Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Mencoba meraih mimpi tuk menjadi pengusaha, meng-upgrade diri dari orang gajian menjadi orang yang menggaji....

Silahkan tinggalkan komentar untuk menghubungi saya......
Atau saya bisa dihubungi melalui akun FB saya www.facebook.com/sultan.hasanudin

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini.
Saran dan masukannya sangat ditunggu. Salam.