Saatnya naik kelas, PKS......


Saatnya naik kelas, PKS......

Sejak mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq (ketika itu masih menjabat sebagai presiden PKS), ditetapkan sebagai tersangka kasus (dugaan) suap impor daging sapi, nama PKS menjadi bulan-bulanan di hampir semua media, baik di media cetak, media elektronik, nasional maupun lokal, atau oleh para bloger di dunia maya.

Beragam komentar, mulai dari analisa objektif seorang pakar hukum hingga komentar bernada cacian dari orang yang sesungguhnya gak paham kondisi kasus ini, turut menghiasi beragamnya pemberitaan terhadap partai ini. Sesungguhnya, hari ini PKS sedang mengalami Penghakiman Kilat, oleh kasus yang belum tentu terbukti.

Fenomenal. Kenapa? Karena sesungguhnya ini bukanlah kasus dugaan korupsi pertama yang melibatkan sebuah partai politik, atau pimpinan partai politik. Bahkan, bagi PKS, ini adalah kasusnya yang pertama. Kasus Misbakhun (walau akhirnya terbukti tidak bersalah) tidak sampai menyeret PKS sebagai sebuah institusi. Tanpa perlu membandingkan jumlah kasus korupsi dengan partai lain, satu kasusnya PKS ini sudah menjadikan noda, yang oleh para haters, dianggap telah mengotori seluruh warna PKS, hingga seolah tak ada lagi warna putih padanya.

Fenomenal. Bahkan lebih fenomenal dari kasusnya Partai Demokrat. Ya, bahkan lebih fenomenal dari kasus korupsi Partai Demokrat. Memang, kasus di PD jauh lebih lama menjadi bulan-bulanan media, dan melibatkan jauh lebih banyak petinggi partai yang terlibat. Tapi, yang patut diingat adalah, seluruh kasus yang melibatkan PD bermula dari ‘nyanyian’ seorang Nazaruddin, yng nota bene ada Bendahara Umum PD, orang dalam PD. Sedangkan bagi PKS, jangan pernah berharap akan ada ‘nyanyian-nyanyian’ dari seorang LHI. Ia lebih memilih bungkam. Janganlah berharap akan ada nama-nama baru yang keluar dari seorang LHI, yang bahkan malah mengucapkan selamat kepada Anis Matta sebagai suksesor-nya di PKS. Sebagian besar nama yang muncul beredar adalah dari ‘nyanyian’ petinggi atau jubir KPK sendiri.

Sekedar mengingatkan tentang posisi kasus ini,memang terjadi beberapa kejanggalan dalam kasus ini.

·         Lihatlah bagaimana penetapan LHI sebagai tersangka. LHI ditetapkan tersangka dan dijemput untuk penahanan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini dimungkinkan karena LHI ditangkap (menurut Johan Budi) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Padahal fakta membuktikan bahwa yang ditangkap tangan bersama uang 1 M adalah AF. AF dianggap orang dekat LHI, dan uang 1 M tersebut adalah untuk LHI. 
·      OTT dilakukan terhadap LHI, padahal LHI tidak berada di tempat kejadian. Operasi Tangkap Tangan apa?? Tangan siapa?? AF ditangkap di hotel Le Meridien, sedangkan LHI sedang berada di kantor DPP PKS.
·          Johan Budi (JB) berkata bahwa dasar OTT tersebut adalah karena KPK memiliki rekaman. Padahal, hal tersebut dibantah sendiri oleh Abraham Samad selaku ketua KPK.
·         Kalaupun ada rekaman sadapan perintah LHI kepada AF, kenapa KPK tidak menunggu hingga uang mengalir kepada LHI dulu baru melakukan OTT? Itu diluar kebiasaan KPK.Kemungkinannya adalah bahwa uang itu memang tidak akan sampai kepada LHI. Dalam persidangannya, malah AF membantah uang itu untuk LHI. Ia mengatakan bahwa itu adalah inisiatif pribadinya sendiri, dan akan dipakai untuk keperluannya sendiri. Tapi kenapa berita ini malah terkesan disembunyikan oleh media?
·        Kasus LHI dengan demikian bukanlah kasus penyuapan, melainkan HANYA PERCOBAAN penyuapan. Dengan demikian, maka OTT gugur dengan sendirinya. Sampai hari ini publik masih menunggu, apa dasar penetapan tersangka (yang disebut oleh KPK sebagai OTT) terhadap LHI?.
·      Selanjutnya, untuk LHI dikenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Padahal uang itu sendiri belum nyampe ke LHI. Kalau begitu, uang mana yang mau dicuci?? Memang, memberikan janji termasuk bagian dari delik korupsi. Tapi apakah janji bisa dicuci?? (Jadi TPPJ dong, Tindak Pidana Pencucian Janji) :D
·      Salah satu indikasi korupsi adalah, terjadinya kerugian negara. Untuk kasus suap impor daging ini, sangkaannya adalah untuk menjual pengaruh agar Mentan (yang merupakan kader PKS) menaikkan kuota impor daging sapi. Tapi kenyataannya, kuota impor TIDAK NAIK, melainkan malah terus turun. Jadi Pengaruh yang mana yang dipidanakan?? Lantas, berapa kerugian negara?? Rp.0,- (NOL RUPIAH)
·          Penggunaan pasal TPPU juga sangat aneh. Karena pasal TPPU merupakan pasal turunan, artinya harus ada uang hasil tindak kejahatan. Artinya, harus terbukti pada tindak pidana asal terlebih dahulu. Nah, kalau tindak pidana asalnya tidak terbukti (malah semakin aneh), lantas pada tindak pidana apa pasal TPPU-nya??
·         Penyitaan aset LHI juga dilakukan dengan penuh kejanggalan. Penyidik KPK datang tanpa membawa surat identitas dan surat penyitaan. Di tinjau dari SOP manapun, itu tidak bisa dibenarkan. Bisa gak saya tiba-tiba ngaku jadi penyidik KPK dan kemudian ngambil barang orang tanpa surat-surat sama sekali?? Itu namanya bukan penyitaan, melainkan PERAMPOKAN.
·      Lagi pula, aset yang dimiliki oleh LHI tersebut disita dalam kejahatan apa?? Penyuapan impor daging sapi?? Bukankah kejadiannya (kalaupun memang ada tindak penyuapan yang disangkakan) baru sekarang, sedangkan asetnya udah beli terlebih dahulu?? Apakah boleh barang udah dibeli terlebih dahulu baru uangnya menyusul?? Beli kredit: menunggu disuap dulu baru dibayar.... hehehe....
·       Belum lagi jika harus menilai perlakuan berbeda yang dilakukan oleh KPK terhadap PKS jika dibandingkan dengan perlakukan terhadap tersangka kasus yang lain. KPK garang terhadap kasus yang mengakibatkan kerugian negara Rp.0,-, tapi melempem pada kasus yang mengakibatkan kerugian negara miliaran hingga triliunan rupiah. 
·       Belum lagi pernyataan dari seorang Prof. Romli Atmasasmita, bahwa undang-undang terkait Penjualan Pengaruh belumlah disahkan di Indonesia, sehingga KPK amatlah terburu-buru dalam penetapan tersangka dan penggunaan pasal TPPU pada kasus LHI.
·                Dan entah akan ada kejanggalan dan keanehan apalagi yang akan terjadi.

Atas banyaknya kejanggalan ini, wajar kemudian jika PKS menganggap ada makar (dalam bahasa Anis Matta, konspirasi) yang terjadi bagi partai ini. Sebuah tudingan yang sesungguhnya wajar, menurut saya.

Tapi terlepas dari itu semua, kasus ini sesungguhnya merupakan BERKAH bagi PKS. Kenapa berkah? Karena ini artinya sudah saatnya bagi PKS untuk naik kelas.

Sebagaimana kita pahami bersama, dalam dunia pendidikan atau ketika meniti jenjang karir, untuk mengukur layak tidaknya seorang murid untuk naik kelas, maka alat ukurnya adalah diberikan ujian-ujian. Seberapa pantas seseorang untuk naik kelas, dilihat dari seberapa besar kemampuan dia untuk menyelesaikan ujian-ujiannya.  Inilah ujian bagi PKS. Jika PKS mampu melewatinya, maka kenaikan kelas adalah reward yang pantas. Dalam hal ini, mungkin bentuknya adalah naiknya perolehan suara PKS, atau lebih jauh lagi adalah kesempatan bagi PKS untuk memimpin negeri ini.

Implikasi lanjutannya adalah, PKS tidak perlu terlalu reaktif menanggapi kasus ini. Selesaikanlah ujiannya, bukan menanggapi komentar-komentar terhadapnya. Sudah menjadi hukum alam bahwa, ketika ada yang akan mendaptkan sebuah reward, maka akan selalu ada yang tidak senang. Biarkanlah para haters dengan segala kedengkian mereka, teruslah bekerja, selesaikan kasusnya, dan raihlah hasilnya. Jawablah tudingan dengan prestasi, terutama prestasi dalam pengabdian kepada masyarakat.

Terakhir, biarkanlah makar itu tetap berjalan. Yang namanya ujian, soal yang diberikan hanyalah soal rekaan belaka. Soal buatan saja. Tidak nyata. Dicari-cari. Jadi, tidak perlu terlalu keras memprotes KPK dengan segala perbuatan diskriminatifnya. Hargailah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah alat ujian saja, dan dari merekalah kemudian PKS akan mendapatkan kemenangannya.

Sekarang, teruslah menebar manfaat, wahai kader-kader PKS. Teruslah berbuat kebaikan, karena inilah saatnya PKS untuk naik kelas....