Membangun Bangsa Dengan Menumbuh-Kembangkan Semangat Nasionalisme Religius Pemuda Indonesia

Selamat Ulang tahun Republik Indonesia ke-70
HUT RI Ke-70

Kemajuan teknologi menjadikan dunia bagai sebuah desa yang besar (big village). Globalisasi membuat seolah tiada lagi sekat-sekat kedaerahan. Kecepatan arus informasi, perdagangan bebas (free trade area), asimilasi budaya, hingga semakin pendeknya waktu tempuh antar negara (bahkan antar benua) membawa konsekuensi lahirnya sebuah era dimana semangat kebangsaan semakin ketinggalan zaman.
Pemuda menjadi objek terdampak utama. Mereka yang lahir di era teknologi ini dihadapkan pada sebuah kondisi dimana hampir tidak ada lagi ruang-ruang sosialisasi nyata. Semuanya mulai tergantikan dengan pola komunikasi semu yang diwujudkan oleh seperangkat gadget. Facebook, Twitter, Instagram, dan sederet social media lainnya telah sukses menggusur pola hubungan tatap-muka. Whatsapp, BBM, Line, dan puluhan sarana online chatting sejenis juga merubah wajah komunikasi verbal antar manusia. Seluruh sosialisasi manusia, khususnya para pemuda, telah diambil alih oleh seperangkat teknologi dan sebuah sambungan internet.

Definisi Pemuda

Kata Pemuda sesungguhnya memiliki banyak definisi. Pertama, pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik maupun psikis sedang mengalami fase perkembangan. Merekalah sumberdaya manusia utama, calon generasi penerus menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO menyebut sebagai ‘young people’ dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ‘adolescenea’ atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda. Sedangkan menurut UU Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun.
Definisi yang lain, pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, optimis, penuh semangat walau kadang bergejolak namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda cenderung memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi muda, atau kaum muda memiliki definisi beragam. Definisi tentang pemuda diatas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori usia sedangkan definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda atau generasi muda adalah mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.

Tantangan Pemuda

Kemajuan teknologi sebagaimana disampaikan diatas, membawa tantangan bagi generasi muda Indonesia. Tantangan utamanya adalah bagaimana para pemuda ini menjawab perkembangan teknologi, ikut serta didalamnya, mampu mengaplikasikan dan mendorong Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dalam pemanfaatannya, namun tidak hanyut terseret arus teknologi yang kian deras. Pemuda Indonesia harus melek teknologi, tapi jangan sampai menghilangkan semangat kebangsaannya.
Tantangan bagi generasi yang oleh Anis Matta menyebutnya sebagai generasi Gelombang Ketiga Indonesia ini semakin bertambah dengan semakin cepat dan bebasnya informasi yang diperoleh. Internet menyajikan berita dalam hitungan detik dan bisa dikonsumsi oleh semua kalangan dimanapun dan kapanpun. Tentu saja ini positif untuk mendongkrak kualitas hidup manusia Indonesia. Tapi disisi lain, kemudahan akses internet yang tersaji tanpa filter membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Pornografi menempati ranking teratas ancaman internet tanpa filter bagi pemuda. Dewasa ini, paham-paham radikal yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia juga mulai merangkak menjadi salah satu ancaman yang membahayakan. Dampak lainnya adalah, cinta tanah air dan semangat kebangsaan semakin tergerus. Melihat betapa majunya negara lain disatu sisi, dan membandingkan carut marutnya kondisi perpolitikan Indonesia disisi yang lain, membuat nasionalisme semakin kerdil. Cinta Indonesia semakin usang.

Nasionalisme Religius

Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Nasionalisme Indonesia dilandasi dengan semangat keberagaman dan keber-agama-an. Semangat yang lahir dari Pancasila sebagai ideologi negara, dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, dan menjadi tonggak bagi sila-sila selanjutnya.
Kelahiran Pancasila sebagai dasar bagi negara Indonesia merdeka tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang konstruksi negara-bangsa (nation-state). Gagasan ini lahir melalui serangkaian perdebatan dan diskusi panjang dengan sebagian kalangan yang lebih mengusulkan Indonesia menjadi negara Islam. Gagasan tentang konsep negara-bangsa ini diadopsi dari negara-negara Eropa yang telah terlebih dulu menggunakannya
Itulah sebabnya para pengusul Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di antaranya Soekarno dan Hatta, disebut sebagai kalangan nasionalis. Kalangan nasionalis menjadi mitra debat kalangan islamis. Disebut kalangan islamis karena mereka menggagas konstruksi Indonesia merdeka sebagai negara-Islam (Islamic-state) atau Islam sebagai dasar negara.
Walaupun sebagian besar kalangan nasionalis juga beragama Islam, mereka tidak disebut sebagai kalangan islamis dalam konteks ini karena gagasan tentang konstruksi Indonesia merdeka tidak berorientasi “hanya kepada Islam”.  Tetapi berbeda dari konsep negara-bangsa yang diterapkan di Eropa yang menghilangkan peran agama, maka nasionalisme Indonesia yang diwujudkan dalam butir-butir Pancasila tetap menekankan peran agama, walau tidak dibatasi pada pengkhususan agama tertentu.
Latar belakang sejarah kelahiran konsepsi negara-bangsa di Eropa adalah penentangan kaum reformis terhadap konsep penyatuan (integralistik) antara gereja (Katolik) dan negara. Dengan kata lain, gagasan tentang negara-bangsa di Eropa muncul karena tuntutan pemisahan antara agama dan negara. Penyatuan antara keduanya telah menyebabkan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan. Kebijakan pemimpin agama sekaligus pemimpin negara (dalam hal ini para Uskup) yang menolak segala bentuk pendapat dari para ilmuwan yang berbeda dari tafsiran kitab suci, berujung pada pemberangusan seluruh perkembangan ilmu pengetahuan, dan mengeksekusi para pengusungnya.
Pertentangan ilmu pengetahuan dan gereja ini menyeret Eropa kedalam masa kegelapan. Kondisi yang mendorong para reformis untuk melakukan perubahan secara radikal dengan memisahkan secara mutlak antara institusi negara disatu sisi, dan institusi agama disisi lain. Mereka berpandangan bahwa negara dan agama berbeda secara diametral, tidak mungkin disatukan, dan upaya-upaya penyatuannya hanya akan berujung pada kemunduran. Konsep sekularisme inilah yang menjadi dasar negara-negara Eropa hingga saat ini.
Karakter negara-bangsa sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia sesungguhnya berbeda secara sangat signifikan dengan konsepsi negara-bangsa yang terbangun di Eropa tersebut. Dengan konsepsi negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, para pendukung gagasan negara-bangsa di Indonesia tidak hendak memisahkan agama dan negara, sebagaimana terjadi di Eropa, melainkan hanya tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Para tokoh pengusung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia meyakini, agama tidak mungkin dipisahkan dengan negara. Dengan melandasi pada pengamalan nilai-nilai keagamaan, negara bisa menjalankan perannya dengan lebih baik, dimana agama tetap menjadi kontrol terhadap negara.
Dalam konteks ini, nasionalisme Indonesia dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun, agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara. 

Phobia Islam

Karena konstruksi Indonesia adalah negara-bangsa berdasarkan Pancasila, maka seluruh regulasi dan kebijakan memang tidak mengatasnamakan agama tertentu. Namun, itu bukan berarti nilai-nilai agama tidak boleh masuk ke dalam regulasi-regulasi yang ada. Sebagai negara yang religius, regulasi-regulasi yang dibuat juga seharusnya selalu mempertimbangkan moralitas agama-agama yang diakui oleh negara.
Ini bisa menjadi jembatan penghubung antara para pengusung nasionalisme dan para pejuang Islamic-state (negara Islam). Agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, harus diperhatikan secara serius, tanpa bermaksud mereduksi peran agama lain yang juga diakui di negara Indonesia. Kebijakan negara harus berpijak pada nilai-nilai agama, dengan tetap terus memperhatikan rasa keber-agama-an masyarakatnya.
Dengan demikian, agama akan tetap berfungsi kontributif dalam memberikan rasa, bukan warna, kepada setiap pembuatan produk kebijakan politik kenegaraan. Ini sangat penting karena rasa bisa sama dalam warna yang berbeda. Artinya, sebuah aturan bisa dibuat sangat Islami, tanpa perlu memberikan label Islam. Sebuah undang-undang bisa sesuai syariah Islam, tanpa harus menamakannya Undang-Undang Syariah.
Sebaliknya, jangan pula terjadi, atas nama nasionalisme maka peran-peran agama, atau tuntutan-tuntutan kearahnya, kemudian direduksi sedemikian rupa atau kalau perlu dihilangkan sama sekali. Segala sesuatu yang berbau agama (dalam hal ini Islam) dianggap menjadi sebuah ancaman serius terhadap keberlangsungan negara. Islam dibatasi hanya pada ruang-ruang individu, dengan terus membatasi peran-perannya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Islam seolah telah berubah menjadi momok yang menakutkan. Terlebih dengan semakin ramainya pemberitaan terkait aksi-aksi teror yang mengatas-namakan Islam, memunculkan phobia yang dalam terhadap Islam. Dampaknya, muncul ketakutan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Parahnya lagi, jika itu terjadi di negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam seperti Indonesia.
Melabelkan terorisme dengan Islam, justru semakin mendorong tumbuhnya radikalisme pada sebagian kelompok atau gerakan Islam. Walau memang selalu dibantah bahwa teroris tidak sama dengan Islam, namun realitas yang dibaca oleh kelompok-kelompok Islam tersebut adalah Islam-lah yang selalu menjadi kambing hitam dari semua masalah terorisme.
Persepsi Islam sebagai agama yang damai tergantikan dengan wajah Islam yang keras, radikal, teror, dan menakutkan. Segala upaya untuk menumbuhkan semangat keberislaman ditanggapi sebagai upaya untuk menghidupkan teror. Setiap gerakan yang menyeru kepada Islam, dianggap akan menyuburkan perilaku teror. Ditambah, parahnya, seluruh simbol-simbol Islam diarahkan pada sesuatu yang harus diwaspadai. Bahkan, nama-nama yang (agak) Islami pun turut dicurigai, sebagaimana yang terjadi pada automatic gate bandara Soekarno-Hatta baru-baru ini.
Radikalisme sebagian gerakan Islam (walau seringnya digeneralisir menjadi radikalisme Islam) tumbuh subur karena adanya perlakuan diskriminatif negara Barat terhadap Islam. Standar ganda yang diterapkan Amerika, misalnya, dengan selalu mengaitkan kepada aksi terorisme terhadap semua kejahatan yang pelakunya –kebetulan– beragama  Islam, sedangkan sikap yang berbeda ditunjukkan pada kejadian yang pelakunya tidak beragama Islam, menjadi akar dari perilaku radikal tersebut.
Sikap diskriminatif terhadap Islam inilah yang seolah menjadi pupuk yang menyuburkan perilaku radikal dikalangan umat Islam. Ketidak-pahaman Barat terhadap Islam dalam taraf tertentu bisa dimaklumi menjadi sumber ketakutan. Belum lagi tesis dari Samuel Huntington tentang clash of civilitation yang menempatkan Islam sebagai ‘musuh’ Barat berikutnya setelah runtuhnya Komunisme.
Pada akhirnya, seluruh ketidak-adilan negara-negara Barat beserta sikapnya yang seolah terus memusuhi Islam, memancing reaksi yang berlebihan juga dikalangan kelompok ekstrimis Islam. Seluruh simbol-simbol Barat dianggap menjadi simbol permusuhan terhadap Islam. Perang terhadap Barat diwujudkan dalam skala kecil dengan melakukan penyerangan terhadap seluruh kepentingan Barat, termasuk kepada pemerintahan yang mendukung sikap Barat. Dalam skala yang lebih luas, Amerika Serikat sebagai pemimpin negara-negara Barat menjadi target yang harus dihancurkan.
Pertentangan seperti ini terus saja meluas dan seolah tidak mendapatkan titik temu. Semakin keras Amerika memerangi terorisme (yang dalam hal ini dianggap memerangi Islam), maka semakin keras pula perlawanan yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan ekstrimis Islam. Parahnya lagi, peperangan ini kemudian menyeret dan membagi negara-negara kepada blok baru: mendukung Barat, atau mendukung Islam.

Melawan Radikalisme dengan Nasionalisme Religius

Arus informasi yang cepat membawa juga pertentangan ini keranah dalam negeri Indonesia. Seiring derasnya informasi yang masuk, membawa paham-paham radikal ini tumbuh subur di Indonesia. Pemerintah Indonesia dianggap oleh sebagian aktivis gerakan Islam yang mendukung aksi radikal tersebut merupakan perwakilan dari pemerintah Barat yang anti Islam.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi gerakan terorisme dengan dibentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), tidak kemudian menyelesaikan masalah, tetapi malah menjadi penyulut tambahan api radikalisme. BNPT dianggap menjadi senjata baru pemerintah untuk memberangus gerakan Islam.
Sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai malah mengikuti langkah Barat dengan melakukan standar ganda terhadap Islam menjadi musuh gerakan radikal di negeri ini. Sebutlah misalnya standar ganda yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika ada sebuah bom yang meledak, atau ketika ada kasus penembakan terhadap aparat kepolisisn. Ketika dilakukan oleh ‘oknum’ yang beragama Islam, dengan serta merta dikaitkan dengan gerakan terorisme. Sedang jika pelakunya bukan beragama Islam, hanya dianggap sebuah gerakan separatisme.
Perilaku represif yang juga ditunjukkan secara berlebihan oleh BNPT semakin menguatkan kesan bahwa lembaga ini dibentuk hanya untuk memerangi aktifis Islam. ‘Drama’ penangkapan pelaku terorisme yang sangat berlebihan, hingga pengejaran dan penggerebekan sampai kedalam masjid dan pesantren, tidak kemudian membunuh paham radikalisme yang telah berkembang, tetapi justru membuat paham ini semakin menjadi-jadi.
Pola pendekatan penanggulangan terorisme sudah semestinya diubah menjadi pendekatan yang lebih humanis. Penyelesaian harus dilakukan mulai akar masalahnya. Radikalisme (Islam) tidak mungkin bisa dihentikan dengan pola radikalisme yang justru dilakukan oleh negara. Semakin represif negara menindak gerakan Islam, maka akan semakin kuat juga aktifis gerakan ini melawan.
Pendekatan yang lebih tepat, menurut hemat penulis, adalah dengan mengembalikan semangat nasionalisme religius di negeri ini. Bukannya memberangus gerakan Islam, tetapi malah harusnya merangkul gerakan ini untuk turut bersama membangun negeri. Mengembalikan proporsi agama dalam negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, dengan melibatkan seluas mungkin peran-peran tokoh agama dalam penyusunan kebijakan.
Memberikan kesempatan peran kontributif secara proporsional terhadap pemimpin-pemimpin gerakan Islam (bersama pimpinan-pimpinan agama yang lain) akan meminimalisir aksi-aksi radikalistik yang dilakukan oleh aktifisnya. Tapi tentu saja hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan tidak hanya formalistik semata.
Langkah berikutnya adalah mendukung penuh upaya-upaya penyebaran Islam yang moderat, yang rahmatan lil ‘alamin. Memberikan pemahaman yang utuh terhadap Islam sesungguhnya adalah langkah yang paling efektif untuk melakukan deradikalisasi. Jangan sampai muncul ungkapan tirani minoritas terhadap mayoritas. Islam tidak lagi dijadikan sub-ordinat, mendorong umat Islam menjadi tuan di negeri sendiri.

Nasionalisme Religius dikalangan pemuda

Perlu disadari, bahwa paham radikalisme tumbuh berkembang paling subur adalah dikalangan pemuda. Semangat pembaharu yang dimiliki para pemuda menjadikan mereka adalah cadangan keras (iron stock) sekaligus agen perubah (agen of change) yang sangat efektif untuk membangun negeri.
Para pemuda Indonesia secara umum terbagi menjadi 3 golongan besar. Pertama, mereka yang sangat aktif dalam gerakan keislaman. Umumnya golongan ini anti terhadap nasionalisme, dan menganggap nasionalisme tidak sejalan dengan Islam. Pada golongan inilah radikalisme tumbuh dengan subur. Selama ini, golongan inilah yang menjadi objek operasi dari proyek penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh BNPT, dan golongan inilah yang paling keras melawan sehingga radikalisme semakin subur.
Golongan yang kedua adalah mereka yang semangat nasionalismenya tinggi, namun sangat anti dengan gerakan Islam. Mereka berpandangan bahwa gerakan Islam justru mengancam keutuhan NKRI. Negara harus dibangun dengan prinsip-prinsip sekularisme sebagaimana yang diterapkan di Barat. Aksi-aksi dari golongan ini nyatanya justru sering berhadapan secara diametral dengan golongan yang pertama.
Golongan ketiga, yang masih merupakan golongan terbesar saat ini, adalah mereka yang tidak terlalu consern terhadap gerakan Islam, tetapi juga bersikap masa bodoh terhadap perkembangan negeri. Mereka larut dengan globalisasi, sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan cenderung bersifat anti sosial. Sosialisasi mereka hanya dilakukan di dunia maya. Sedangkan dunia nyatanya hanya dihabiskan pada model ‘buta cinta’ (buku, pesta, dan cinta).
Pemerintah Indonesia seharusnya mengupayakan dengan serius lahirnya golongan yang keempat, yaitu golongan pemuda yang nasionalis, namun tetap religius dan mampu mengembangkan teknologi. Generasi ini merupakan generasi terbaik untuk membangun negeri ini. Semangat nasionalisme pemuda, jika diimbangi dengan religiusitas yang kuat, akan melahirkan sebuah generasi dengan kekuatan perubah yang besar.
Pertanyaan paling penting adalah, bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme religius ini ditengah gempuran globalisasi yang demikian hebat?
Langkah awal yang harus ditempuh adalah menumbuhkan semangat keberislaman para pemuda. Pemahaman yang utuh terhadap Islam, sejatinya akan melahirkan rasa cinta tanah air. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sa’id Hawwa didalam buku Al-Islam, bahwa “Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Sebagaimana juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”
Nasionalisme yang lahir sebagai buah dari pemahaman Islam yang utuh, akan menjadi nasionalisme religius yang kokoh, tidak mudah tergerus oleh globalisasi, dan mempunyai imunitas yang mumpuni terhadap paham-paham radikalisme. Ia adalah sebuah kekuatan yang besar, yang mampu mendorong bangsa beberapa tingkat lebih maju.
Dengan memfokuskan diri pada pembangunan nasionalisme religius dikalangan pemuda, pemerintah sesungguhnya telah menyelesaikan beberapa PR sekaligus. Pemuda sebagai tulang punggung bangsa menjadi lebih optimal dan berdaya, paham radikalisme yang merusak bisa diminimalisir bahkan dihilangkan, semangat nasionalisme bangsa bisa semakin ditumbuhkan, dan ideologi Pancasila bisa ditegakkan.
Saatnya membangun bangsa. Bukan saatnya lagi ada pertarungan sesama anak bangsa, apalagi pertarungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Saatnya Indonesia mampu berbicara lebih banyak dipentas dunia. Saatnya membangun bangsa, dengan menumbuhkan semangat nasionalisme religius dikalangan pemuda.
Selamat ulang tahun ke-70, negeriku. Selamat ulang tahun, Indonesiaku.
Wallahu a’lam bish-showab.

Daftar Pustaka
-          Al Qur’anul Karim
-          Al Banna, Hasan (1997).Risalah Pergerakan, Solo: Intermedia
-          Artawijaya (2012). Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta: Pustaka Al Kautsar
-          Matta, Anis (2014). Gelombang Ketiga Indonesia, Jakarta: TFI
-          Thahhan, Mustafa Muhammad ().Risalah Pergerakan Pemuda Indonesia, Jakarta: Syamil



Penting: Bagaimana Menjelaskan Tentang Mimpi Basah Kepada Anak Laki-laki

Memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, memang menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Salah satunya adalah, bagaimana pendidikan seks buat sang buah hati. Menyiapkan anak memasuki usia pubernya. Terkadang, dialog antara orang tua dan anak terkait hal ini mengalami jalan buntu, utamanya antara ayah dan anak laki-lakinya. 

Seringnya, yang lebih disiapkan oleh orang tua (khususnya ibu) adalah mempersiapkan dan mendialogkan dengan anak perempuan untuk menghadapi menstruasi pertamanya. Bagaimana dengan anak laki-laki?? Mimpi basah yang menjadi tanda pubertasnya (aqil baligh) seringnya berlalu dengan sendirinya. Anak tidak mengerti, dan tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Sedang orang tua (khususnya ayah) cenderung tidak peduli, dan berharap sang anak akan mengerti dengan sendirinya suatu saat nanti.

Padahal, apa yang terjadi? Sang anak yang telah mimpi basah menjadi tidak sah sholatnya. Orang tua sering mendorong anaknya untuk sholat, dan terjaga sholat 5 waktu-nya, padahal mereka tidak tahu bahwa anak lelakinya dalam keadaan junub. 
Jadi, sholat mereka tidak sah. Selama berapa lama? Sehari? Sebulan? Setahun? Bahkan bisa bertahun-tahun, hingga sang anak mengetahui cara mandi besar (mandi wajib). Tanggung jawab siapa sholat bertahun-tahun sang anak yang ternyata menjadi tidak sah.
Ah, "Tidak ada dosa bagi yang tidak tahu". Betul, bagi sang anak memang iya. Sholatnya "bisa jadi" dianggap sah karena ketidak-tahuannya. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab orang tuanya, yang tahu tapi tidak memberitahukannya??
Belum lagi ancaman bahaya pornografi yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Masalahnya, bagaimana cara menyampaikan masalah "mimpi basah" kepada anak yang belum baligh? Kapan waktu yang tepat untuk menyampaikannya? 
Sebuah tulisan dari bunda Elly Risman dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) kiranya menjadi sedikit penjelas terhadap seluruh ayah yang hingga saat ini tidak atau belum pernah berdiskusi dengan anak laki-lakinya mengenai masalah ini. Penting juga disimpan untuk para calon ayah, untuk mempersiapkan dirinya menjadi orang tua.

Menyiapkan anak laki-laki mimpi basah ( Aqil Baligh).

Dear Parents…
Tahukah anda, bahwa anak laki-laki yang belum baligh dijadikan sasaran tembak bisnis pornografi internasional ?
Mengapa demikian ?
Karena anak laki-laki cenderung menggunakan otak kiri dan alat kemaluannya berada di luar. Di berbagai media (Komik, Games, PS, Internet, VCD, HP), mereka menampilkan gambar-gambar yang mengandung materi pornografi, melalui tampilan yang dekat dan akrab dengan dunia anak-anak.

Dengan berbagai rangsangan yang cukup banyak dari media- media tersebut, dan asupan gizi yang diterima anak-anak dari makanannya, hormon testosterone di dalam tubuh bergerak 20 kali lebih cepat. Sehingga, testis mulai memproduksi sperma. Dan kantung sperma menjadi penuh. Karena itu, anak laki-laki kita dengan mudahnya mengeluarkan mani lebih cepat dari yang lainnya dan kadang-kadang, dengan banyaknya ‘rangsangan’ dari berbagai media tersebut, mereka tidak perlu dengan bermimpi !

Dear Parents…
Menyiapkan anak kita memasuki masa baligh adalah tantangan besar bagi kita sebagai orang tua. Kelihatannya sepele, namun sangat penting bagi mereka untuk mengatahui seputar masa baligh agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang memiliki seksualitas yang sehat, lurus dan benar. Memang banyak kendala yang kita hadapi : tabu & saru, bagaimana harus memulainya, kapan waktu yang tepat untuk memulai, sejauh mana yang harus kita bicarakan, dan lain-lain. Memang tidak mudah untuk mendobrak kendala-kendala tersebut, namun jika kita tidak melakukannya sejak dini, bisa jadi mereka mendapatkan informasi-informasi yang salah dari sumber yang tidak jelas.

Jadi, salah satu kewajiban orang tua adalah menyiapkan putra putrinya memasuki masa puber / baligh. Biasanya anak perempuan yang lebih sering dipersiapkan untuk memasuki masa menstruasi. Jarang, para ayah yang menyiapkan anak laki-lakinya menghadapi mimpi basah. Ini adalah tanggung jawab Ayah untuk membicarakannya kepada mereka. 
Mengapa harus ayah ? Karena anak laki-laki yang berusia di atas 7 tahun, membutuhkan waktu yang lebih banyak dengan ayahnya, dari pada dengan ibunya. Dan jika bicara seputar mimpi basah, ibu tentu tidak terlalu menguasai hal-hal seputar mimpi basah dan tidak pernah mengalaminya bukan ? 
Namun, bila karena satu hal, ayah tak sempat dan tidak punya waktu untuk itu, ibu-lah yang harus mengambil tanggung jawab ini. 

 Tips Menyiapkan Anak Laki-laki Menghadapi Mimpi Basah

 Untuk pertama kali, kita akan membicarakan tentang apa itu mimpi basah, dan bedanya mani dengan madzi, dan apa yang harus dilakukan jika keluar cairan tersebut. Agar anak bisa membedakan antara mani dengan madzi, persiapkan terlebih dahulu alat-alatnya :

- Untuk mani : Aduk kanji/tepung sagu dengan air, jangan terlalu encer, hingga masih ada butir-butir kecilnya. Beri sedikit bubuk kunyit, hingga menjadi agak kuning. Taruh di wadah/botol.

- Untuk madzi : Beli lem khusus, seperti lem UHU.

Berikutnya siapkan waktu khusus dengan anak untuk membicarakannya. Apa saja yang harus disampaikan :

- Pertama, sampaikan kepada mereka bahwa saat ini mereka telah tumbuh berkembang menjadi remaja, dengan adanya perubahan-perubahan pada fisik mereka. Dan sebentar lagi mereka akan memasuki masa puber / baligh.
Contoh : “Nak.. ayah lihat kamu sudah semakin besar saja ya.. Tuh coba lihat tungkai kakimu sudah semakin panjang, suaramu sudah agak berat. Waah..anak ayah sudah mau jadi remaja nih. Nah, ayah mau bicarain sama kamu tentang hal penting menjelang seorang anak menjadi remaja atau istilahnya ia memasuki masa puber / baligh”

- Di awal, mungkin mereka akan merasa jengah dan malu.
Namun, yakinkan kepada mereka, bahwa membicarakan masalah tersebut merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua, yang nanti akan ditanyakan oleh Allah di akhirat.

- Ketika berbicara dengan anak laki-laki yang belum baligh, gunakan the power of touch.
Sentuh bahu atau kepala mereka. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad yang sering mengusap bahu atau kepala anak laki-laki yang belum baligh.
Hal ini dapat menumbuhkan keakraban antara ayah dengan anak. Jika sudah baligh, mereka tidak akan mau kita sentuh.

- Gunakan juga jangkar emosi (panggilan khusus, yang bisa mendekatkan hubungan kita dengan anak), misalnya: nak, buah hati papa, jagoan ayah, dan lain-lain.

- Sampaikan kepada anak kita Tentang mimpi basah & mani

• Bahwa karena ia telah memiliki tanda-tanda / ciri-ciri memasuki masa puber, maka pada suatu malam nanti, ia akan mengalami mimpi sedang bermesraan dengan perempuan yang dikenal ataupun tidak dikenal. Dan pada saat terbangun, ia akan mendapatkan cairan yang disebut mani. (Kita beri tahukan kepada mereka contoh cairannya, yaitu cairan tepung kanji yang telah kita persiapkan). Peristiwa itu disebut mimpi basah.

• Jika seorang anak laki-laki telah mengalami mimpi basah, tandanya ia sudah menjadi seorang remaja / dewasa muda. Dan mulai saat itu, ia sudah bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala perbuatan yang ia lakukan, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Pahala dan dosa atas perbuatannya itu akan menjadi tanggungannya. Dalam agama Islam, ia disebut sudah mukallaf.

• Beritahukan kewajiban yang harus dilakukan setelah mengalami mimpi basah (sesuai dengan ajaran agama masing-masing).Dalam Islam, orang yang mimpi basah diwajibkan untuk mandi besar / mandi junub, yaitu :
1. Bersihkan kemaluan dari cairan sperma yang masih menempel.
2. Cuci kedua tangan.
3. Berniat untuk bersuci
4. Berwudhu.
5. Mandi, minimal menyiram air ke bagian tubuh sebelah kanan tiga kali, dan ke bagian sebelah kiri sebanyak tiga kali, hingga seluruh anggota tubuh terkena air.
6. Cuci kaki sebanyak tiga kali.

• Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa yang telah kita sampaikan.

Tentang madzi

• Jika ia melihat hal-hal / gambar-gambar yang tidak pantas dilihat oleh anak (gambar yang tak senonoh), maka bisa jadi, ia akan mengeluarkan cairan yang disebut madzi. (Kita beri tahukan kepada mereka contoh cairannya, yaitu lem UHU).

• Cara membersihkannya cukup dengan : mencuci kemaluan, mencuci tangan lalu berwudhu.

• Ingatkan kepadanya, jika ia tidak melakukannya, ia tidak bisa sholat dan tidak bisa membaca Al Qur’an.

• Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa yang telah kita sampaikan

Hal penting yang harus kita ingat sebelum membicarakan masalah ini kepada anak adalah kita berlatih dahulu bagaimana cara menyampaikannya. Mengapa ? Agar komunikasi yang akan kita lakukan tidak tegang, dan berjalan dengan hangat. Agar anak merasa nyaman dan ia dapat menerima pesan yang kita sampaikan dengan baik.
Selamat mencoba …


Sejarah Penanggalan Kalender Hijriyah

Sedikit lagi bulan syawal 1436 H akan berakhir. Itu artinya, dalam beberapa bulan kedepan, umat Islam akan merayakan pergantian tahun. Berbeda dengan kalender yang dipakai secara umum di Indonesia (bahkan dunia) yang menggunakan penanggalan Masehi, maka umat Islam menggunakan kalender Hijriyah. Apa itu kalender Hijriyah???
Setelah kita membahas apa itu kalender Masehi, sekarang kita akan sedikit mengulas tentang kalender Hijriyah. 

Sejarah Penanggalan Kalender Hijriah


Kalender Islam
Kalender Hijriyah.
Kalender Hijriyah atau Kalender Islam adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam, umumnya dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. 

Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan peredaran matahari.
Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ َ
Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)

Sebelum datangnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab sudah menggunakan kalender dengan sistem bulan (qomariyah) yang disesuaikan dengan Matahari (syamsiyah). Awal bulan di mulai dengan munculnya bulan (hilal), dan jumlah harinya berselang seling antara 29 dan 30 sehingga suatu tahun terdiri dari 354 hari atau 11 hari lebih cepat dari kalender Syamsiyah yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur maka dalam setiap periode 19 tahun ada 7 tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari) dan bulan ekstra ini disebut dengan bulan nasi' yang ditambahkan setelah Dzulhijjah.

Tabel berikut merupakan daftar nama-nama bulan qomariyah dari berbagai versi:
No.
Kalender Kaum Tsamud
(riwayat Al-Azdi)
Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Bairuni)
Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Mas’udi)
Kalender sejak tahun 412 H
1
Mujab
Al-Mu’tamir
Natiq
Muharram
2
Mujir
Najir
Tsaqil
Shafar
3
Murid
Khawwan
Thaliq
Rabi’ul Awal
4
Mulzim
Shuwan/Bushon
Najir
Rabi’ul Akhir
5
Mashdar
Hantam/Hanin/Runna
Simah
Jumadil Ula
6
Hawbar
Zuba
Amnah
Jumadil Akhirah
7
Hubal
Al-Asham
Ahlak
Rajab
8
Muha
Adil
Kusa’
Sya’ban
9
Dimar
Nafiq/Nathil
Zahir
Ramadhan
10
Dabir
Waghil/Waghl
Burth
Syawal
11
Haifal
Hawa’/Rannah
Harf
Dzulqa’dah
12
Musbil
Burk
Na’as
Dzulhijjah

Ternyata tidak semua kabilah Arab sepakat dalam menentukan tahun apa saja yang mempunyai bulan nasi' (interkalasi). Ada satu kabilah yang meletakkan bulan nasi' pada tahun tertentu dan yang lain tidak, padahal jika satu kabilah tidak meletakkan bulan nasi' berarti mereka pada bulan tersebut dilarang berperang, karena masuk bulan muharram, sementara kabilah yang meletakkan bulan nasi' akan bebas melakukan peperangan di bulan itu karena mereka beralasan masih bulan nasi'. Akibatnya bulan ekstra ini menimbulkan banyak permusuhan dikalangan orang Arab. Bulan nasi' juga menjadi jalan bagi sekelompok kabilah untuk kepentingan pribadi dan kabilahnya mereka yang mendahulukan kepentingan pribadi, mereka sesuai kebutuhan. Mereka menjadikan Muharam sebagai Shafar, sehingga mereka bisa menghalalkan banyak hal yang dilarang pada bulan muharram tersebut. 

Oleh karena itu Allah mencelanya dalam firmanNya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ، إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ


Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir". (QS. At-Taubah: 36-37)

Dengan turunnya wahyu di atas Rasulullah menetapkan bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung kepada perjalanan Matahari dan menggunakan kalender qamariyah murni serta menghilangkan tradisi penambahan bulan ke-13 (nasi').

Walaupun penetapan kalender telah ada di zaman Rasulullah dan bulannya sudah ada sejak pra Islam, tetapi penomoran tahun masih belum dikenal. Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Misalnya, Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan "Tahun Gajah", karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka'bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.

Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi Muhammad SAW :

  • Tahun pertama: Tahun Izin, karena telah diturunkan izin untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.
  • Tahun kedua: Tahun Al-Amr (perintah), karena telah turun perintah untuk memerangi orang kafir.
  • Tahun ketiga: Tahun At-Tamhis (pembersihan), karena Allah membersihkan dosa dan kesalahan kaum muslimin setelah kejadian Perang Uhud.
  • Tahun keempat: Tahun Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata “ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok’.
  • Tahun kelima: Tahun Zilzal (goncangan), sebagai isyarat atas ujian yang dialami kaum muslimin ketika Perang Khandak.
  • Tahun keenam: Tahun Isti’nas (meminta izin), yang mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:28)
  • Tahun ketujuh: Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang yahudi daerah Khaibar.
  • Tahun kedelapan: Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).
  • Tahun kesembilan: Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya SAW telah berlepas diri dari kaum musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan Tahun Wufud (tamu), karena pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada Nabi Muhammad SAW
  • Tahun kesepuluh: Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini, Nabi SAW melaksanakan Haji Wada’. (Arsip Multaqa Ahlil Hadits, tanggal 14 Maret 2005) (Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)


Peristiwa Hijrah sebagai Awal Kalender Islam

Hijrah Rasulullah sebagai awal penentuan kalender Hijriyah

Pada tahun 682 Masehi, 'Umar bin Al Khattab (632H-634H) yang saat itu menjadi khalifah mendapati sebuah masalah. Negeri islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan laiinnya.
Dengan adanya masalah ini, maka pada tahun ketiga masa pemerintahan khlifah ‘Umar, Abu Musa Al-Asyari r.a (sahabat yang ditugasi menjadi gubernur di Bashrah ) mengirim surat kepada khalifah ‘Umar yang isinya:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Dipicu oleh surat ini, maka Khalifah menyetujui usulan untuk membuat penanggalan sendiri dan langsung membentuk panitia yang diketuai langsung oleh beliau dengan enam anggota sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqas, Tholhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan tahun pertama dari kalender yang selama ini telah digunakan. Ada yang mengusulkan agar dimulai dari tahun kelahiran Nabi (Tahun Gajah = 571 M), dan ada yang mengusulkan dimulai dari tahun turunnya wahyu Allah yang pertama (bi'stah = 610 M).

Semua usulan-usulan yang masuk baik kelahiran Nabi maupun permulaan turun wahyu tidak diambil sebagai awal tahun Islam karena masih terjadi kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian sebenarnya. Usulan hari wafatnya Rasulullah juga tidak dijadikan permulaan kalender karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafat beliau yang berkemungkinan akan menjadikan kesedihan para muslimin. Yang disetujui adalah usulan Sayyidina Ali -karramallahu wajhah--, yaitu dimulai dari tahun hijrah Rasulullah ke Madinah. Menurut Umar, hijrah adalah momen yang penting, dimana saat itu antara haq dan bathil dapat dipisahkan.

Disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi)
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?
Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة
Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
Abu Zinad mengatakan:
استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani, dimana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan. Tidak juga menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.
Mengenai kapan peristiwa hijrah terjadi memang ada beberapa Versi . Imam At-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan bahwa saat hijrah ke Madinah Rasulullah tiba di Quba pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 13 kenabian bertepatan pada tanggal 24 September 622 M, waktu dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di sana Nabi singgah tempat tinggal keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari kamis 15 Rabiul Awal atau 27 September 622 M). Setelah Masjid Quba dibangun pada tanggal 16 Rabiul Awal; Jumat, 28 September beliau meneruskan perjalanan menuju Madinah. Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabiul Awal atau 28 September. 

Ahli sejarah lainnya berpendapat hari Senin, 12 rabiul awal atau 5 Oktober 621 M. Ada pula yang mengatakan hari Jumat 12 Robiul awal 24 Maret 622 M. Namun, terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, para ahli sejarah bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Robiul Awal bukan bulan Muharram.

Ketika para sahabat sepakat menjadikan tahun peristiwa hijrah nabi sebagai tahun pertama kalender Islam, timbul permasalahan tentang awal bulan kalender. Ada yang mengusulkan Rabiul Awal, ada pula yang mengusulkan Muharram. Sayyidina Umar berpendapat awal bulan hendaknya dimulai dari bulan Muharram, sebab Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam. Dibulan ini juga umat Islam baru pulang dari melaksanakan Ibadah yang akbar, yaitu Haji ke Baitullah. Serta, di bulan Muharram juga pertama kali munculnya tekad untuk hijrah. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛ إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة ، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة الابتداء بالمحرم
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom) Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)
Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam ditetapkan sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut. Kalender tersebut dimulai pada 1 Muharram tahun peristiwa Hijrah atau bertepatan dengan 16 Juli 662 M. Peristiwa hijrah Nabi saw. sendiri berlangsung pada bulan Rabi'ul Awal 1 H atau September 622 M.

Nama-nama bulan dalam kalender islam dan artinya

Sistem penanggalan yang dipakai sudah memiliki tuntunan jelas di dalam Al Qur'an, yaitu sistem kalender bulan (qomariyah). Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian. Namun ketetapan Allah menghapus adanya praktek interkalasi (Nasi'). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy menambahkan bulan ke-13 atau lebih tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2 bulan pada setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan perputaran musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam kalender qomariyah tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim. Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya musim gugur yang pertama. Ramadhan artinya musim panas.

Praktek Nasi' ini juga dilakukan atau disalahgunakan oleh kaum Quraisy agar memperoleh keuntungan dengan datangnya jamaah haji pada musim yang sama di tiap tahun di mana mereka bisa mengambil keuntungan perniagaan yang lebih besar. Praktek ini juga berdampak pada ketidakjelasan masa bulan-bulan Haram. 

Pada tahun ke-10 setelah hijrah, Allah menurunkan ayat yang melarang praktek Nasi' ini:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." [At Taubah (9): 38]
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah... " [At Taubah (9): 39]
Nama-nama bulan qamariyah mulai Muharam sampai Dzulhijjah sudah populer pemakainnya. Masyarakat Arab memberi nama bulan-bulan tersebut sesuai dengan keadaan alam yang terjadi. Ada lima bulan (Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Ramadhan) yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut. Tujuh bulan lainnya dinamai dengan nama keadaan masyarakat dan siklus sosial.

Berikut arti dari keduabelas bulan dalam kalender Hijriyah:

  1. Muharram, karena pada bulan ini orang Arab sepakat mengharamkan peperangan dan ini bertepatan dengan bulan September. Namun larangan tersebut tidak berlaku lagi sejak turun firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 191
  2. Shafar (kuning), dikarenakan pada waktu itu daun daun mulai menguning dalam pemberian nama Shofar ini bertepatan pada bulan oktober. Ada yang mengartikan Shafar dengan makna kosong, karena dalam bulan tersebut pemukiman orang Arab kosong dari kaum lelaki. Semuanya pergi berniaga merantau atau berperang.
  3. Rabiul awal dan Rabiul akhir, karena di bulan tersebut musim gugur terjadi. Rabi' sendiri dalam bahasa Arab bermakna musim gugur.
  4. Bulan Jumadal Ula dan Akhirah yang bertepatan dengan Januari dan Februari terjadi musim dingin dan beku. Dalam bahasa Arab beku adalah jamad. Dari sinilah bulan ini dinamakan Jumadal Ula dan Akhiroh.
  5. Ketika Matahari melewati semenanjung Arab, salju di Arab mulai mencair, karena itu bulan ini di namakan Rajab.
  6. Karena salju telah mencair, lahan pun bisa ditanami kembali, penduduk Arab mulai turun ke lembah (syi'ib) untuk menanam dan mengembala. Bulan ini disebut Sya'ban.
  7. Matahari bersinar terik hingga membakar kulit, pada masa ini bulannya dinamakan Ramadhan yang artinya sangat panas.
  8. Dibulan selanjutnya cuaca semakin panas karena panasnya meningkat bulan ini disebut syawal yang berarti peningkatan.
  9. Suhu yang panas membuat orang Arab lebih suka duduk-duduk di rumah dalam bahsa arab duduk itu arti dari qa'id. Karena itu bulan ini diberi nama Dzul Qa'dah.
  10. Terakhir Dzulhijjah, karena di bulan ini masyarakat arab pergi kekota Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Dengan demikian, dalam satu tahun ada 12 bulan dan mereka adalah:
1.    Muharram
2.    Shafar
3.    Rabi'ul Awal
4.    Rabi'ul Akhir
5.    Jumadil Awal
6.    Jumadil Akhir
7.    Rajab
8.    Sya'ban
9.    Ramadhan
10. Syawal
11. Dzulqa'idah
12. Dzulhijjah

Sedangkan 4 bulan Haram, di mana peperangan atau pertumpahan darah di larang, adalah:Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas:
  1. Kalender hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa ijma’ merupakan dalil qoth’i yang diakui dalam Islam.
  2. Sistem penanggalan yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qomariyah. Hal ini diketahui dari surat Umar bin Khatab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy-‘ariy; di situ tertulis bulan sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.
  3. Para sahabat menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang menyelisihi konsesus para sahabat. Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kesehariannya.
Kalender hijriyah merupakan syi’ar Islam, yang menbedakannya dengan agama-agama lainnya. Berikut ini beberapa tanggal penting yang wajib umat Muslim ketahui:
– Muharram
·         1 Muharram: Tahun baru hijriah
·         10 Muharram: Hari Asyura
·          – Rabiul Awal
·         12 Rabiul Awal: Hari kelahiran Rasulullah SAW

 – Rajab
·         27 Rajab: Isra Mi’raj

 – Ramadhan
·         1 Ramadhan: Puasa
·         17 Ramadhan: Nuzulul Qur’an
·         10 hari terakhir Ramadhan: Lailatul Qadr

– Syawal
·         1 Syawal: Idul Fitri

 – Dzulhijjah 
 8 Dzulhijjah: Hari Tarwiyah
·         9 Dzulhijjah: Wukuf
·         10 Dzulhijjah: Idul Adha
 11-13 Dzulhijjah: Hari tasyriq

Demikian ulasan tentang kalender Hijriyah. Untuk sejarah kalender Masehi, asal usul nama bulan dan nama hari, klik disini

Sumber:

Al Qur’an
- Sirah Nabawiyyah, Syaikh Al-Mubarakfury
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah-
- http://suaramuslim.net/bagaimana-sejarah-terbentuknya-kalender-islam-atau-kalender-hijriyah
- http://www.al-habib.info/kalender-islam/sejarah.htm
- http://www.konsultasisyariah.com/sejarah-penetapan-kalender-hijriah/
- Muslim.Or.Id