HUT RI Ke-70 |
Kemajuan teknologi menjadikan dunia bagai
sebuah desa yang besar (big village). Globalisasi membuat seolah tiada
lagi sekat-sekat kedaerahan. Kecepatan arus informasi, perdagangan bebas (free
trade area), asimilasi budaya, hingga semakin pendeknya waktu tempuh antar
negara (bahkan antar benua) membawa konsekuensi lahirnya sebuah era dimana
semangat kebangsaan semakin ketinggalan zaman.
Pemuda menjadi objek terdampak utama. Mereka
yang lahir di era teknologi ini dihadapkan pada sebuah kondisi dimana hampir tidak
ada lagi ruang-ruang sosialisasi nyata. Semuanya mulai tergantikan dengan pola
komunikasi semu yang diwujudkan oleh seperangkat gadget. Facebook,
Twitter, Instagram, dan sederet social media lainnya telah sukses menggusur
pola hubungan tatap-muka. Whatsapp, BBM, Line, dan puluhan sarana online
chatting sejenis juga merubah wajah komunikasi verbal antar manusia.
Seluruh sosialisasi manusia, khususnya para pemuda, telah diambil alih oleh
seperangkat teknologi dan sebuah sambungan internet.
Definisi Pemuda
Kata Pemuda sesungguhnya memiliki banyak
definisi. Pertama, pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik maupun
psikis sedang mengalami fase perkembangan. Merekalah sumberdaya manusia utama, calon
generasi penerus menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO
menyebut sebagai ‘young people’ dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan
usia 10-19 tahun disebut ‘adolescenea’ atau remaja. International Youth
Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24
tahun sebagai kelompok pemuda. Sedangkan menurut UU Kepemudaan, pemuda adalah
mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun.
Definisi yang lain, pemuda adalah individu
dengan karakter yang dinamis, optimis, penuh semangat walau kadang bergejolak
namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa
perubahan sosial maupun kultural. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan
masa perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda cenderung
memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam
makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga
dikenal dengan sebutan generasi muda dan kaum muda. Seringkali terminologi
pemuda, generasi muda, atau kaum muda memiliki definisi beragam. Definisi
tentang pemuda diatas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori usia sedangkan
definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda atau generasi muda adalah
mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.
Tantangan Pemuda
Kemajuan teknologi sebagaimana disampaikan
diatas, membawa tantangan bagi generasi muda Indonesia. Tantangan utamanya
adalah bagaimana para pemuda ini menjawab perkembangan teknologi, ikut serta
didalamnya, mampu mengaplikasikan dan mendorong Indonesia sejajar dengan
negara-negara maju dalam pemanfaatannya, namun tidak hanyut terseret arus
teknologi yang kian deras. Pemuda Indonesia harus melek teknologi, tapi jangan
sampai menghilangkan semangat kebangsaannya.
Tantangan bagi generasi yang oleh Anis Matta
menyebutnya sebagai generasi Gelombang Ketiga Indonesia ini semakin bertambah
dengan semakin cepat dan bebasnya informasi yang diperoleh. Internet menyajikan
berita dalam hitungan detik dan bisa dikonsumsi oleh semua kalangan dimanapun
dan kapanpun. Tentu saja ini positif untuk mendongkrak kualitas hidup manusia
Indonesia. Tapi disisi lain, kemudahan akses internet yang tersaji tanpa filter
membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Pornografi menempati ranking teratas
ancaman internet tanpa filter bagi pemuda. Dewasa ini, paham-paham radikal yang
tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia juga mulai merangkak menjadi
salah satu ancaman yang membahayakan. Dampak lainnya adalah, cinta tanah air
dan semangat kebangsaan semakin tergerus. Melihat betapa majunya negara lain
disatu sisi, dan membandingkan carut marutnya kondisi perpolitikan Indonesia
disisi yang lain, membuat nasionalisme semakin kerdil. Cinta Indonesia semakin
usang.
Nasionalisme Religius
Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda
dengan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Nasionalisme Indonesia
dilandasi dengan semangat keberagaman dan keber-agama-an. Semangat yang lahir
dari Pancasila sebagai ideologi negara, dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai sila pertama, dan menjadi tonggak bagi sila-sila selanjutnya.
Kelahiran Pancasila sebagai dasar bagi negara
Indonesia merdeka tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang konstruksi
negara-bangsa (nation-state). Gagasan ini lahir melalui serangkaian perdebatan
dan diskusi panjang dengan sebagian kalangan yang lebih mengusulkan Indonesia menjadi
negara Islam. Gagasan tentang konsep negara-bangsa ini diadopsi dari negara-negara
Eropa yang telah terlebih dulu menggunakannya
Itulah sebabnya para pengusul Pancasila sebagai
dasar negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), di antaranya Soekarno dan Hatta, disebut sebagai kalangan
nasionalis. Kalangan nasionalis menjadi mitra debat kalangan islamis. Disebut
kalangan islamis karena mereka menggagas konstruksi Indonesia merdeka sebagai
negara-Islam (Islamic-state) atau Islam sebagai dasar negara.
Walaupun sebagian besar kalangan nasionalis
juga beragama Islam, mereka tidak disebut sebagai kalangan islamis dalam
konteks ini karena gagasan tentang konstruksi Indonesia merdeka tidak
berorientasi “hanya kepada Islam”. Tetapi
berbeda dari konsep negara-bangsa yang diterapkan di Eropa yang menghilangkan
peran agama, maka nasionalisme Indonesia yang diwujudkan dalam butir-butir
Pancasila tetap menekankan peran agama, walau tidak dibatasi pada pengkhususan
agama tertentu.
Latar belakang sejarah kelahiran konsepsi
negara-bangsa di Eropa adalah penentangan kaum reformis terhadap konsep
penyatuan (integralistik) antara gereja (Katolik) dan negara. Dengan kata lain,
gagasan tentang negara-bangsa di Eropa muncul karena tuntutan pemisahan antara
agama dan negara. Penyatuan antara keduanya telah menyebabkan berbagai bentuk
penyelewengan kekuasaan. Kebijakan pemimpin agama sekaligus pemimpin negara
(dalam hal ini para Uskup) yang menolak segala bentuk pendapat dari para ilmuwan
yang berbeda dari tafsiran kitab suci, berujung pada pemberangusan seluruh
perkembangan ilmu pengetahuan, dan mengeksekusi para pengusungnya.
Pertentangan ilmu pengetahuan dan gereja ini
menyeret Eropa kedalam masa kegelapan. Kondisi yang mendorong para reformis
untuk melakukan perubahan secara radikal dengan memisahkan secara mutlak antara
institusi negara disatu sisi, dan institusi agama disisi lain. Mereka
berpandangan bahwa negara dan agama berbeda secara diametral, tidak mungkin
disatukan, dan upaya-upaya penyatuannya hanya akan berujung pada kemunduran.
Konsep sekularisme inilah yang menjadi dasar negara-negara Eropa hingga saat
ini.
Karakter negara-bangsa sebagai konstruksi
Negara Republik Indonesia sesungguhnya berbeda secara sangat signifikan dengan
konsepsi negara-bangsa yang terbangun di Eropa tersebut. Dengan konsepsi
negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, para pendukung gagasan negara-bangsa di Indonesia tidak hendak
memisahkan agama dan negara, sebagaimana terjadi di Eropa, melainkan hanya
tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Para tokoh pengusung Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia meyakini, agama tidak mungkin dipisahkan dengan negara. Dengan
melandasi pada pengamalan nilai-nilai keagamaan, negara bisa menjalankan
perannya dengan lebih baik, dimana agama tetap menjadi kontrol terhadap negara.
Dalam konteks ini, nasionalisme Indonesia
dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang
tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun, agama yang dimaksud di sini
bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh
negara.
Phobia Islam
Karena konstruksi Indonesia adalah
negara-bangsa berdasarkan Pancasila, maka seluruh regulasi dan kebijakan memang
tidak mengatasnamakan agama tertentu. Namun, itu bukan berarti nilai-nilai
agama tidak boleh masuk ke dalam regulasi-regulasi yang ada. Sebagai negara
yang religius, regulasi-regulasi yang dibuat juga seharusnya selalu
mempertimbangkan moralitas agama-agama yang diakui oleh negara.
Ini bisa menjadi jembatan penghubung antara
para pengusung nasionalisme dan para pejuang Islamic-state (negara Islam).
Agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia,
harus diperhatikan secara serius, tanpa bermaksud mereduksi peran agama lain
yang juga diakui di negara Indonesia. Kebijakan negara harus berpijak pada
nilai-nilai agama, dengan tetap terus memperhatikan rasa keber-agama-an
masyarakatnya.
Dengan demikian, agama akan tetap berfungsi
kontributif dalam memberikan rasa, bukan warna, kepada setiap pembuatan produk
kebijakan politik kenegaraan. Ini sangat penting karena rasa bisa sama dalam
warna yang berbeda. Artinya, sebuah aturan bisa dibuat sangat Islami, tanpa
perlu memberikan label Islam. Sebuah undang-undang bisa sesuai syariah Islam,
tanpa harus menamakannya Undang-Undang Syariah.
Sebaliknya, jangan pula terjadi, atas nama
nasionalisme maka peran-peran agama, atau tuntutan-tuntutan kearahnya, kemudian
direduksi sedemikian rupa atau kalau perlu dihilangkan sama sekali. Segala
sesuatu yang berbau agama (dalam hal ini Islam) dianggap menjadi sebuah ancaman
serius terhadap keberlangsungan negara. Islam dibatasi hanya pada ruang-ruang
individu, dengan terus membatasi peran-perannya dalam bermasyarakat dan
bernegara.
Islam seolah telah berubah menjadi momok yang
menakutkan. Terlebih dengan semakin ramainya pemberitaan terkait aksi-aksi
teror yang mengatas-namakan Islam, memunculkan phobia yang dalam terhadap
Islam. Dampaknya, muncul ketakutan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang
berbau Islam. Parahnya lagi, jika itu terjadi di negara yang berpenduduk
mayoritas beragama Islam seperti Indonesia.
Melabelkan terorisme dengan Islam, justru
semakin mendorong tumbuhnya radikalisme pada sebagian kelompok atau gerakan
Islam. Walau memang selalu dibantah bahwa teroris tidak sama dengan Islam, namun
realitas yang dibaca oleh kelompok-kelompok Islam tersebut adalah Islam-lah
yang selalu menjadi kambing hitam dari semua masalah terorisme.
Persepsi Islam sebagai agama yang damai
tergantikan dengan wajah Islam yang keras, radikal, teror, dan menakutkan. Segala
upaya untuk menumbuhkan semangat keberislaman ditanggapi sebagai upaya untuk
menghidupkan teror. Setiap gerakan yang menyeru kepada Islam, dianggap akan
menyuburkan perilaku teror. Ditambah, parahnya, seluruh simbol-simbol Islam diarahkan
pada sesuatu yang harus diwaspadai. Bahkan, nama-nama yang (agak) Islami pun
turut dicurigai, sebagaimana yang terjadi pada automatic gate bandara
Soekarno-Hatta baru-baru ini.
Radikalisme sebagian gerakan Islam (walau
seringnya digeneralisir menjadi radikalisme Islam) tumbuh subur karena adanya
perlakuan diskriminatif negara Barat terhadap Islam. Standar ganda yang
diterapkan Amerika, misalnya, dengan selalu mengaitkan kepada aksi terorisme
terhadap semua kejahatan yang pelakunya –kebetulan– beragama Islam, sedangkan sikap yang berbeda ditunjukkan
pada kejadian yang pelakunya tidak beragama Islam, menjadi akar dari perilaku
radikal tersebut.
Sikap diskriminatif terhadap Islam inilah yang
seolah menjadi pupuk yang menyuburkan perilaku radikal dikalangan umat Islam.
Ketidak-pahaman Barat terhadap Islam dalam taraf tertentu bisa dimaklumi
menjadi sumber ketakutan. Belum lagi tesis dari Samuel Huntington tentang clash
of civilitation yang menempatkan Islam sebagai ‘musuh’ Barat berikutnya
setelah runtuhnya Komunisme.
Pada akhirnya, seluruh ketidak-adilan
negara-negara Barat beserta sikapnya yang seolah terus memusuhi Islam,
memancing reaksi yang berlebihan juga dikalangan kelompok ekstrimis Islam.
Seluruh simbol-simbol Barat dianggap menjadi simbol permusuhan terhadap Islam.
Perang terhadap Barat diwujudkan dalam skala kecil dengan melakukan penyerangan
terhadap seluruh kepentingan Barat, termasuk kepada pemerintahan yang mendukung
sikap Barat. Dalam skala yang lebih luas, Amerika Serikat sebagai pemimpin
negara-negara Barat menjadi target yang harus dihancurkan.
Pertentangan seperti ini terus saja meluas dan
seolah tidak mendapatkan titik temu. Semakin keras Amerika memerangi terorisme
(yang dalam hal ini dianggap memerangi Islam), maka semakin keras pula
perlawanan yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan ekstrimis Islam. Parahnya
lagi, peperangan ini kemudian menyeret dan membagi negara-negara kepada blok
baru: mendukung Barat, atau mendukung Islam.
Melawan Radikalisme dengan Nasionalisme Religius
Arus informasi yang cepat membawa juga
pertentangan ini keranah dalam negeri Indonesia. Seiring derasnya informasi
yang masuk, membawa paham-paham radikal ini tumbuh subur di Indonesia.
Pemerintah Indonesia dianggap oleh sebagian aktivis gerakan Islam yang
mendukung aksi radikal tersebut merupakan perwakilan dari pemerintah Barat yang
anti Islam.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi gerakan
terorisme dengan dibentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),
tidak kemudian menyelesaikan masalah, tetapi malah menjadi penyulut tambahan
api radikalisme. BNPT dianggap menjadi senjata baru pemerintah untuk
memberangus gerakan Islam.
Sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai malah
mengikuti langkah Barat dengan melakukan standar ganda terhadap Islam menjadi
musuh gerakan radikal di negeri ini. Sebutlah misalnya standar ganda yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika ada sebuah bom yang meledak, atau
ketika ada kasus penembakan terhadap aparat kepolisisn. Ketika dilakukan oleh
‘oknum’ yang beragama Islam, dengan serta merta dikaitkan dengan gerakan
terorisme. Sedang jika pelakunya bukan beragama Islam, hanya dianggap sebuah
gerakan separatisme.
Perilaku represif yang juga ditunjukkan secara
berlebihan oleh BNPT semakin menguatkan kesan bahwa lembaga ini dibentuk hanya
untuk memerangi aktifis Islam. ‘Drama’ penangkapan pelaku terorisme yang sangat
berlebihan, hingga pengejaran dan penggerebekan sampai kedalam masjid dan
pesantren, tidak kemudian membunuh paham radikalisme yang telah berkembang,
tetapi justru membuat paham ini semakin menjadi-jadi.
Pola pendekatan penanggulangan terorisme sudah
semestinya diubah menjadi pendekatan yang lebih humanis. Penyelesaian harus
dilakukan mulai akar masalahnya. Radikalisme (Islam) tidak mungkin bisa
dihentikan dengan pola radikalisme yang justru dilakukan oleh negara. Semakin
represif negara menindak gerakan Islam, maka akan semakin kuat juga aktifis
gerakan ini melawan.
Pendekatan yang lebih tepat, menurut hemat
penulis, adalah dengan mengembalikan semangat nasionalisme religius di negeri
ini. Bukannya memberangus gerakan Islam, tetapi malah harusnya merangkul
gerakan ini untuk turut bersama membangun negeri. Mengembalikan proporsi agama
dalam negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, dengan melibatkan
seluas mungkin peran-peran tokoh agama dalam penyusunan kebijakan.
Memberikan kesempatan peran kontributif secara
proporsional terhadap pemimpin-pemimpin gerakan Islam (bersama
pimpinan-pimpinan agama yang lain) akan meminimalisir aksi-aksi radikalistik
yang dilakukan oleh aktifisnya. Tapi tentu saja hal ini harus dilakukan dengan
sungguh-sungguh, dan tidak hanya formalistik semata.
Langkah berikutnya adalah mendukung penuh
upaya-upaya penyebaran Islam yang moderat, yang rahmatan lil ‘alamin. Memberikan
pemahaman yang utuh terhadap Islam sesungguhnya adalah langkah yang paling
efektif untuk melakukan deradikalisasi. Jangan sampai muncul ungkapan tirani
minoritas terhadap mayoritas. Islam tidak lagi dijadikan sub-ordinat, mendorong
umat Islam menjadi tuan di negeri sendiri.
Nasionalisme Religius dikalangan pemuda
Perlu disadari, bahwa paham radikalisme tumbuh
berkembang paling subur adalah dikalangan pemuda. Semangat pembaharu yang
dimiliki para pemuda menjadikan mereka adalah cadangan keras (iron stock)
sekaligus agen perubah (agen of change) yang sangat efektif untuk
membangun negeri.
Para pemuda Indonesia secara umum terbagi
menjadi 3 golongan besar. Pertama, mereka yang sangat aktif dalam gerakan
keislaman. Umumnya golongan ini anti terhadap nasionalisme, dan menganggap
nasionalisme tidak sejalan dengan Islam. Pada golongan inilah radikalisme tumbuh
dengan subur. Selama ini, golongan inilah yang menjadi objek operasi dari
proyek penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh BNPT, dan golongan inilah
yang paling keras melawan sehingga radikalisme semakin subur.
Golongan yang kedua adalah mereka yang semangat
nasionalismenya tinggi, namun sangat anti dengan gerakan Islam. Mereka
berpandangan bahwa gerakan Islam justru mengancam keutuhan NKRI. Negara harus
dibangun dengan prinsip-prinsip sekularisme sebagaimana yang diterapkan di
Barat. Aksi-aksi dari golongan ini nyatanya justru sering berhadapan secara
diametral dengan golongan yang pertama.
Golongan ketiga, yang masih merupakan golongan
terbesar saat ini, adalah mereka yang tidak terlalu consern terhadap
gerakan Islam, tetapi juga bersikap masa bodoh terhadap perkembangan negeri.
Mereka larut dengan globalisasi, sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan
cenderung bersifat anti sosial. Sosialisasi mereka hanya dilakukan di dunia
maya. Sedangkan dunia nyatanya hanya dihabiskan pada model ‘buta cinta’ (buku,
pesta, dan cinta).
Pemerintah Indonesia seharusnya mengupayakan
dengan serius lahirnya golongan yang keempat, yaitu golongan pemuda yang
nasionalis, namun tetap religius dan mampu mengembangkan teknologi. Generasi
ini merupakan generasi terbaik untuk membangun negeri ini. Semangat
nasionalisme pemuda, jika diimbangi dengan religiusitas yang kuat, akan
melahirkan sebuah generasi dengan kekuatan perubah yang besar.
Pertanyaan paling penting adalah, bagaimana
menumbuhkan semangat nasionalisme religius ini ditengah gempuran globalisasi
yang demikian hebat?
Langkah awal yang harus ditempuh adalah
menumbuhkan semangat keberislaman para pemuda. Pemahaman yang utuh terhadap
Islam, sejatinya akan melahirkan rasa cinta tanah air. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sa’id Hawwa didalam buku Al-Islam, bahwa “Islam adalah sistem
yang syamil (menyeluruh), mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan,
peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan
alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Sebagaimana juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”
Sebagaimana juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”
Nasionalisme yang lahir sebagai buah dari
pemahaman Islam yang utuh, akan menjadi nasionalisme religius yang kokoh, tidak
mudah tergerus oleh globalisasi, dan mempunyai imunitas yang mumpuni terhadap
paham-paham radikalisme. Ia adalah sebuah kekuatan yang besar, yang mampu
mendorong bangsa beberapa tingkat lebih maju.
Dengan memfokuskan diri pada pembangunan
nasionalisme religius dikalangan pemuda, pemerintah sesungguhnya telah
menyelesaikan beberapa PR sekaligus. Pemuda sebagai tulang punggung bangsa menjadi
lebih optimal dan berdaya, paham radikalisme yang merusak bisa diminimalisir
bahkan dihilangkan, semangat nasionalisme bangsa bisa semakin ditumbuhkan, dan
ideologi Pancasila bisa ditegakkan.
Saatnya membangun bangsa. Bukan saatnya lagi
ada pertarungan sesama anak bangsa, apalagi pertarungan antara pemerintah
dengan rakyatnya. Saatnya Indonesia mampu berbicara lebih banyak dipentas
dunia. Saatnya membangun bangsa, dengan menumbuhkan semangat nasionalisme
religius dikalangan pemuda.
Selamat ulang tahun ke-70, negeriku. Selamat ulang tahun, Indonesiaku.
Wallahu a’lam bish-showab.
Daftar Pustaka
-
Al Qur’anul Karim
-
Al Banna, Hasan (1997).Risalah Pergerakan,
Solo: Intermedia
-
Artawijaya (2012). Indonesia Tanpa Liberal,
Jakarta: Pustaka Al Kautsar
-
Matta, Anis (2014). Gelombang Ketiga Indonesia,
Jakarta: TFI
-
Thahhan, Mustafa Muhammad ().Risalah Pergerakan
Pemuda Indonesia, Jakarta: Syamil