KAMMI, yang dideklarasikan di Malang tepat 17 tahun yang
lalu, menjelma menjadi sebuah organisasi besar hanya dalam sekejap. Puluhan
cabang di hampir seluruh provinsi di Indonesia berdiri hanya dengan hitungan
hari. Demonstrasi massal yang digelar tak lama setelah dideklarasikannya,
diikuti oleh ratusan, bahkan ribuan mahasiswa. Pertanyaan besarnya adalah,
bagaimana cara KAMMI menggerakkan mesin secepat dan sebesar itu??
Deklarasi pendirian KAMMI yang mengambil momentum pelaksanaan
FSLDK-N X di Malang, memang bukan tanpa alasan. Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada
tataran praksis, merupakan wadah gerakan dari sebuah jamaah tarbiyah. Gerakan
ini memang menjamur di kampus-kampus, sejak era 80-an. Bergerak dengan sistem
sel dari masjid ke masjid, tarbiyah merebak dengan kecepatan eksponensial.
Dalam waktu singkat, jamaah ini telah memiliki ribuan anggota yang tersebar di seluruh
Indonesia.
(Baca juga: Peran-peran historis KAMMI)
(Baca juga: Peran-peran historis KAMMI)
Forum FSLDK sejatinya adalah ‘wadah silaturahim’ dari pegiat
tarbiyah. Kesamaan visi, misi, dan kedekatan ideologi, menjadikan ide pendirian
sebuah organisasi sebagai wadah politik kader LDK mendapat sambutan hangat.
Berbekal diskusi-diskusi panjang terkait apakah harus menjadi bagian atau
terpisah dari LDK, KAMMI akhirnya didirikan. Keputusan akhirnya adalah; organisasi
ini terpisah dari LDK, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan
tarbiyah. Jadi, anggota KAMMI direkrut dari kader LDK, sebagai wadah politik
kader-kadernya. LDK menyelenggarakan tarbiyahnya, KAMMI yang mendidik kafaah
politiknya. Selesai.
Atas alasan inilah, peserta FSLDK-N yang kembali ke
daerahnya dengan semangat 45 membentuk cabang-cabang di daerahnya
masing-masing. Bak cendawan di musim hujan, hanya dalam hitungan hari KAMMI
telah bermetamorfosis sebagai sebuah organisasi besar yang layak
diperhitungkan. Kontestasi politik nasional, ditengah krisis multidimensional
yang menyeret penguasa kala itu untuk lengser keprabon, menjadi bukti
betapa kuatnya manajemen kepemimpinan ditubuh KAMMI. Demonstrasi besar-besaran
yang digelarnya, nyaris tanpa cela. Sebuah organisasi potensial telah tumbuh!
Masalah mulai muncul ketika KAMMI, dalam perkembangannya,
merekrut kader yang -tidak hanya- internal LDK lagi. Dalam konteks perluasan
dakwah, tentu hal ini berbuah positif. Jaring perekrutan yang ditebar menjadi lebih luas, dan potensi
perekrutan kader jadi lebih terbuka. Tapi masalah utamanya adalah adanya “persaingan”
antara KAMMI vs LDK. Mencangkul di lahan yang sama, saling tarik menarik kader,
dan benturan kepentingan, mewarnai fastabiqul khoirot antara keduanya.
Semakin berkembangnya organisasi ini, membuat masalah diatas
sedikit demi sedikit teratasi. Pembagian job dan distribusi kader, menjadi satu
dari beberapa solusi yang muncul. Tapi apakah kemudian seluruh masalah praktis
terselesaikan??
Masalah yang lebih pelik adalah, setelah tarbiyah tidak lagi
menjadi domainnya LDK, sedikit demi sedikit KAMMI telah berubah menjadi seperti
LDK. Kaderisasi KAMMI sibuk mencetak kader, sementara pendidikan politiknya
menjadi ‘agak’ terpinggirkan. Muslim negarawan menjadi jargon hambar tanpa aksi-aksi
nyata. KAMMI sibuk mencetak kader yang: ibadah taat, aksi dahsyat, prestasi
hebat. Dengan penekanan pada aksi yang tidak melulu pada aksi-aksi
politik ekstra parlementer. Aksi itu luas, katanya. Apologetis itu tidak
sepenuhnya salah. Benar dalam tataran teoritis, tapi menjadi ambigu dalam
tataran praksis.
Konsep kaderisasi KAMMI menjadi salah satu korban
ambigiusitas tadi. Dalam tataran konsep, kurikulum kader AB I (anggota biasa I)
KAMMI memuat poin-poin kurikulum yang ‘hampir mirip’ dengan kurikulum tarbiyah.
Lantas, jika kader hasil rekrutan KAMMI adalah kader yang sudah terbentuk di
LDK, dalam pengertian yang lebih vulgar adalah kader yang sudah tertarbiyah
sebelum masuk KAMMI, masihkah harus mengikuti “tarbiyah” di KAMMI?? Jika tidak,
apakah bisa langsung “loncat” ke AB II?? Bagaimana menjawab kecemburuan dari
kader yang murni hasil rekrutan KAMMI??
Jika pilihannya adalah membuat kurikulum kader yang ‘berbeda’
dengan kurikulum tarbiyah, bagaimana dengan kader yang tidak tertarbiyah tadi??
Mereka akan berubah menjadi kader politis dengan standar muwashshofat yang
sulit dipertanggungjawabkan. Dilematis.
Hasilnya?? Munculnya kader-kader tanggung. Kafaah syar’iyah
yang tanggung, konsep politik yang tidak tuntas, dan semangat gerakan yang kian
luntur. Lebih parah lagi, kepedulian akan kondisi politik nasional yang sudah
benar-benar tergerus. Tak ada lagi kritikan-kritikan pedas disertasi solusi-solusi
cerdas dari KAMMI.
Lantas seperti apa solusinya??
Menurut hemat saya, jalan keluar yang paling ‘win-win
solution’ adalah dengan berbagi peran antara KAMMI dan LDK. LDK bertanggung
jawab terhadap tarbiyah kader KAMMI, sedang KAMMI fokus mendidik kadernya
dengan konsep-konsep politik Islam, menciptakan kader-kader negarawan. Dengan
demikian, akan lahir kader-kader yang pakar politik, namun dengan aqidah,
akhlak, dan ibadah yang kian ciamik. Ibadah taat, aksi dahsyat, prestasi hebat!!
Bisakah konsep ini dijalankan?? Bisa, selama kita sanggup
duduk satu meja menghilangkan egoisme masing-masing. Sungguh, memang tidak ada
satupun organisasi yang sempurna. Inilah indahnya berjamaah. Saling melengkapi.
Sehingga tak akan pernah muncul lagi gesekan-gesekan karena berada dilahan yang
sama, tanaman yang sama, dengan cara menanam yang persis sama.
Selamat milad ke-17 KAMMI. Semoga semakin dewasa, dan
semakin banyak kader-kader negarawan yang lahir dari rahimmu.
Salam aksi.
0 comments:
Post a Comment