Negara Islam
Indonesia atau sering disingkat dengan NII sempat santer dibicarakan. Penculikan beberapa mahasiswa, hilangnya beberapa pemuda, gerakan
pencucian otak (brain wash), hingga pemerasan dan perampokan yang dilakukan
oleh beberapa pemuda di rumah orang tua salah satu pemuda tersebut menjadi
topic yang senantiasa dilekatkan pada gerakan yang mengatas namakan diri Negara
Islam Indonesia. Hal ini semakin memperburuk citra NII sebagai salah satu
gerakan Islam di Indonesia yang oleh pemerintahan sebelumnya telah divonis
terlarang.
Diproklamirkan
pada tahun 1949 M di Jawa Barat dengan ibu kotanya Garut, NII (atau ketika
berdiri dikenal dengan nama Darul Islam) menjadi momok menakutkan bagi
pemerintahan Soekarno kala itu. Didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo,
Darul Islam (DI) mendapatkan respon positif dari para pejuang penegak gerakan
Islam di Indonesia. Di belahan timur Indonesia, lahirlah cabang DI dibawah
pimpinan komando muda, bekas Pasukan Pengawal presiden Sukarno, Abdul Qahhar Mudzakkar. Diikuti oleh komandan
Mujahid “Ibnu Hajar” di Burneo, Kalimantan Selatan sebagai perwakilan DI di
Kalimantan; dan Barisan Mujahidin di Aceh oleh Teungku Muhammad Daud Beuruh
sebagai cabang DI di Sumatera, DI memperlihatkan keberanian luar biasa dalam
memerangi penjajah. Sebuah perjuangan yang menggetarkan penguasa kala itu.
Penjajahan lebih
dari tiga setengah abad oleh Belanda di bumi Nusantara dengan penduduk lebih
dari seratus dua puluh juta jiwa dan mayoritas penduduknya beragama Islam,
melahirkan pemberontakan-pemberontakan keagamaan di sebagian besar kepulauan
Indonesia. Teuku Umar di Aceh, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran
Diponegoro di Jawa Tengah, Sultan Hasanudin di Sulawesi, serta Untung Suropati
di pulau Bali, menjadi contoh nyata iman Islam di dada para mujahid negeri ini
senantiasa menggelorakan perlawanan terhadap gerakan imperialism yang dibawah
oleh para aggressor barat.
Di bidang
social, bermunculanlah organisasi-organisasi Islam, seperti Majlisul ‘Ilmi
(yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Umat Islam atau PUI) oleh KH. Abdul
Halim di tahun 1911, dan Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan di tahun 1912.
Dibidang politik, bangkitlah Syaih Haji Samanhudi yang mendirikan Partai
Politik Islam; Syarikat Islam Indonesia. Bersama-sama mereka bekerja untuk
mencerdaskan ummat, baik di bidang agama, politik, intelektual, maupun
kebudayaan.
Memandang
kebesaran syaikh Haji Samanhudi, maka bergabunglah syaikh Haji Umar Said
Cokroaminoto, yang kemudian kepemimpinan partai perserikatan diserahkan kepada
beliau. Syaikh Haji Umar Said Cokroaminoto adalah pejuang yang sangat kuat dank
eras dalam masalah politik, juga merupakan musuh bebuyutan bagi penjajah.
Beliau berfaham bahwa suatu keharusan membebaskan Indonesia dengan jalan
kekuatan Iman, mencerdaskan pemudanya dengan memahami kebudayaan Islam, dan
mendorong mereka untuk berjihad melawan penjajah. Beliau sangat berhasrat
menyaring dari para pemuda muslim yang bergairah terhadap agamanya, dan cinta
kepada umat dan tanah airnya. Maka jatuhlah pilihan kepada 2 orang pemuda, yaitu
1.
Soekarno,
dari kota Blitar, Jawa Timur; dan
2.
Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo, dari kota Cepu, Jawa Tengah.
Maka mulailah Haji Umar Said bekerja keras
untuk mendidik dan mencerdaskan keduanya. Setelah berjalan beberapa waktu, Haji
Umar Said kemudian memperhatikan dengan serius kepada Kartosuwiryo setelah
menyadari ternyata Sukarno disusupi faham pemikiran barat dan mulai cenderung
kepadanya.
Seluruh
perhimpunan dan organisasi Islam kemudian bersatu dibawah bendera partai
“Masyumi” (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpin oleh Muhammad Natsir.
Partai ini memiliki militer yang secara umum dinamakan “Pasukan Hizbullah”.
Pasukan ini dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Berkali-kali dibawah
pimpinan komando ini, pasukan Hizbullah memerangi penjajah Belanda dan Jepang,
dan berkali-kali pula dapat mengalahkan mereka. Disisi lain, berdiri pula
Tentara Tanah Air Nasional dibawah pimpinan Soekarno. Bersama-sama mereka
berjuang mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Setelah penjajah
hengkang, Indonesia kemudian memproklamirkan diri sebagai negara merdeka
dibawah pimpinan Soekarno. Pertikaian mulai terjadi ketika Sukarno lebih
memilih merangkul gerakan Nasionalis dan Komunis dalam menyusun pemerintahan,
dan meninggalkan gerakan Islam, termasuk sahabatnya Kartosuwiryo, dan gurunya
H. Umar Said. Mengingat besarnya pengaruh dari tentara Hizbullah, maka Sukarno
berniat menyerang tentara Hizbullah dan menghabiskan sampai ke akar-akarnya
dari pemerintahan. Sejak itulah muncul pertikaian antara Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dengan Hizbullah. Pertentangan antara kedua belah pihak
benar-benar meruncing karena perselisihan mengenai Dasar Negara dan norma-norma
hukum didalamnya.
Perselisihan
sempat mereda ketika penjajah Belanda datang menyerang Indonesia untuk kali
kedua di tahun 1948. Pasukan Hizbullah yang memang telah disiapkan untuk
berjihad, memberikan perlawanan besar-besaran terhadap penjajah Belanda hingga
ke pelosok-pelosok negeri, jauh lebih besar dari pasukan Sukarno yang memilih
berperang di pusat-pusat pemerintahan saja.
Dalam masa
kekosongan pemerintahan inilah Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara
Islam Indonesia pada tahun 1949 di Jawa Barat, sedangkan tentaranya dinamaan
Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Frustasi dengan
perlawanan yang diberikan oleh DI/TII, penjajah Belanda kemudian mengadakan
perundingan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno atas
pemberian kemerdekaan kepada Indonesia untuk memadamkan pemberontakan Islam dan
mengganti Negara Islam dengan Negara Nasionalis.
Berkumpullah
“Van Royen” (wakil penjajah) dengan “Muhammad Rum” dari pihak Indonesia. Hasil
perjanjian ini keduanya bersepakat untu menyerahkan Negara kepada bangsa
Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno. Perjanjian ini dikenal dengan
perjanjian “Rum-Royen”.
Sesuai
kesepakatan kedua belah pihak, maka TNI mendapatkan bantuan yang besar dari
pihak Belanda untuk memadamkan pemberontakan Islam. Sejak itulah terjadi pertempuran
antara Darul Islam (DI/TII) dengan TNI sampai tahun 1953 M. Pada tahun itu, TNI
dapat mengalahan DI/TII dan mengusirnya kehutan-hutan. Kemudian DI/TII mengubah
strategi pertempuran menjadi perang gerilya, dan berlangsung hingga 1960 M.
Pada tahun 1962 M, terjadilah pertempuran terakhir antara DI/TII dengan TNI,
yang mengakibatkan sebagian besar pasukan DI/TII mati syahid. Kartosuwiryo
sendiri akhirnya dapat ditangkap dan dihukum mati dengan tembakan peluru.
Kerasnya
perjuangan Negara Islam Indonesia (NII) oleh Kartosuwiryo menginspirasi
beberapa perjuangan pasca meninggalnya beliau. Tapi disisi lain, kemasyhuran
NII juga dijadikan alat perjuangan oleh pihak-pihak lain, semisal Negara Islam
Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX) di bawah pimpinan AS Panji
Gumilang. Sayangnya, focus perjuangannya telah bergeser, dan banyak amal
perjuangannya malah menyimpang dari amal Islam yang gigih diperjuangkan oleh
Kartosuwiryo. Antara lain, cara pengumpulan harta besar-besaran yang dilakukan
oleh NII W IX (di luar beberapa pemahamannya yang menyimpang dari aqidah
Islam), semain memperburuk citra NII yang memang dalam sejarah-sejarah
Indonesia yang disusun oleh pemerintahan orde lama dan orde baru dianggap
sebagai gerakan makar dan terlarang.
Tapi yang pasti,
Kartosuwiryo telah meletakkan dasar-dasar perjuangan Islam di negeri ini, dan
menjadi sebuah tonggak sejarah dalam sebuah sejarah panjang penegakan syariah
Islam di negeri ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.