Ahad, 6 Februari 2011, mata internasional kembali tertuju pada sebuah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Negeri yang terkenal dengan keramahannya dan solidaritas antar umat beragama-nya ini kembali terusik dengan kasus penyerangan sekelompok orang tak dikenal terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Penyerangan ini mengakibatkan tewasnya 3 orang pengikut Ahmadiyah dan beberapa lainnya luka-luka. Puluhan LSM dan lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) baik nasional maupun internasional kompak menyuarakan kecaman atas tragedy berdarah ini. Kebebasan beragama atas nama HAM kembali dipertanyakan, dan pemerintah kembali dituntut untuk membubarkan ormas-ormas yang terlibat dalam penyerangan ini.
Bermula dari hadirnya sejumlah orang dari Jakarta dan sekitarnya ke Pandeglang pada sabtu, 5 Februari 2011 dan menantang warga kampong Cikeusik, bentrokan pun tak dapat dihindarkan. Ratusan umat Islam yang tidak terima atas dibacoknya seorang pemuda bernama Sarta hingga lengannya nyaris putus secara spontan menyerbu kompleks Ahmadiyah.
Tragedy berdarah di kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten ini sesungguhnya hanyalah buntut dari polemik tentang keberadaan Ahmadiyah selama ini. Jamaah yang masuk ke Indonesia sejak 1935 ini memang telah mengakibatkan polemik demikian panjang. Polemik yang mengikibatkan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2008, atau lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri, yang lucunya kini menjadi polemik. SKB dinilai beberapa kalangan tidak relevan untuk mengatasi masalah ini, dan Negara dianggap tidak boleh mencampuri urusan keyakinan tiap orang.
Lalu, apa sikap kita terhadap jamaah yang menamakan Ormas Islam ini? Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Dan bagaimana menyikapi kekerasan yang terus dialami oleh Jamaah Ahmadiyah ini?
Terkait sikap kita terhadap Jamaah Ahmadiyah, tidak lepas dari status Ahmadiyah itu sendiri, dan status Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani selaku pendiri jamaah tersebut. Amadiyah atau Al-Qadiyaniyah adalah aliran keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M/1309 H di India. Sebagian kaum Ahmadi menganggapnya sebagi Nabi, sebagian lainnya hanya menyebut sebagai pembaharu (mujaddid). Bagaimana dengan Ghulam Ahmad sendiri? Bagaimana dia memperkenalkan dirinya?
Dalam sebuah catatan kaki pada kitab Tadzkirah, Ghulam Ahmad memperkenalkan dirinya sebagai “Messengers”. Bentuk jamak pada kata messengers ini menurut penjelasannya, adalah karena ia merupakan manifestasi dari semua Nabi. “God Almighty has made me a manifestation of all Prophets, and has given me their names. I am Ibrahim, I am Ishaq, I am Isma’il, I am Ya’qub, I am Yusuf, I am Musa, I am Dawud, I am Isa and I am the perfect manifestation of the name of the Holy Prophet that is to say I am Muhammad and Ahmad by way of reflection.” Demikian Ghulam Ahmad berujar.
Dalam ‘wahyu’ ke 1883 dalam Tadzkirah, tersebut nama Adam, Maryam, dan Ahmad. Namun menurut Ghulam Ahmad, itu bukanlah Nabi Adam a.s dan Maryam, melainkan dirinya. Tentu saja yang paling dikenal luas adalah klaimnya terhadap Nabi Isa a.s. Ghulam Ahmad mengklaim dirinya sebagai kedatangan kedua metaforis dari Nabi Isa a.s.
Menjadi Nabi “by way of reflection” atau “metaforis” tidak pernah ada dalam khazanah keislaman. Yang ada adalah pewaris para Nabi, yaitu para ulama. Maknanya seputar kewajiban dakwah. Apakah Ghulam Ahmad adalah pewaris Nabi? Ghulam Ahmad dengan jelas mengatakan “..declared that an aggressive 'jihad by the sword' has no place in Islam.” Tentu saja, para ulama tidak bisa menerima klaim ini. Jihad adalah ajaran Islam. Tentu tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan Jihad, namun Jihad adalah ajaran para Nabi. Para ulama sejak dahulu telah keras mengkritisi Ahmadiyah karena sikapnya yang anti Jihad. Sebagian ahli mengatakan bahwa sikap anti jihad ini merupakan bukti bahwa Ahmadiyah adalah boneka penjajah. Pada kenyataannya, ayah Ghulam Ahmad memang dikenal berjasa kepada Inggris. Demikian pula Ghulam Ahmad. Sang ayah pernah memberikan bantuan pasukan berkuda kepada pemerintah kolonial Inggris untuk membasmi ‘pemberontak’.
Dengan beriman pada Rasulullah saw., maka kita pun telah menyatakan beriman pada para Nabi sebelumnya. Sebaliknya, beriman pada orang lain yang disebut sebagai nabi sesudah beliau adalah bukti ketidakberimanan kita pada Rasul saw. Dengan demikian, jelaslah bahwa Ahmadiyah memang sebuah agama yang telah keluar dari ajaran Islam. Tidak beriman pada Rasul saw., mendustakannya, bahkan menganulir syariat jihad yang diajarkannya. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa kita harus menyikapi agama Ahmadiyah sebagai agama Non-Islam.
Jamaah Ahmadiah sejak tahun 1995 telah difatwakan sesat oleh MUI. Fatwa itu kemudian dikuatkan lagi tahun 2005. Sejak saat itu, reaksi penolakan terhadap Ahmadiyah semakin meluas, mengakibatkan munculnya bentrokan di beberapa tempat. Menyikapi hal tersebut, pemerintah mengundang Jamaah Ahmadiyah dan Ormas-ormas Islam untuk duduk bersama, sehingga melahirkan 12 kesepakatan yang ditanda-tangani bersama pada 14 Januari 2008, menyusul dikeluarkannya SKB 3 menteri pada tahun yang sama.
Ada 6 butir dalam SKB tersebut terkait dengan penanganan masalah Ahmadiyah, yang bisa dirangkum menjadi 2 bagian, yaitu Pertama, memerintahkan kepada penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam. Yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya,
Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Sesungguhnya SKB ini sudah cukup adil, dengan mengatur kedua belah pihak. Akan tetapi penerapan dari SKB ini yang masih jauh dari harapan, mengakibatkan peristiwa bentrokan berdarah antara kaum muslimin dengan Jamaah Ahmadiyah tidak bisa terhindarkan.
Setelah memahami status agamanya, kini kita perlu mencermati situasi di lapangan. Berbeda dengan anggapan umum, banyak orang Ahmadi yang tidak mempelajari secara mendalam agamanya sendiri. Sebagian di antara mereka menganggap Ghulam Ahmad sebagai mujaddid. Mereka tidak tahu bahwa ia mengklaim sebagai nabi. Sebagiannya tidak pernah meneliti mimpi-mimpi Ghulam Ahmad yang diceritakan dalam Tadzkirah. Sebagian lagi, karena kekurangtahuannya, tidak memahami kesalahan-kesalahan Ahmadiyah dari perspektif Islam.
Dari pemahaman ini, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian Ahmadi, mungkin sebagian besarnya, adalah ‘korban’. Oleh karena itu, nasihat dari Buya Hamka dalam buku “Pelajaran Agama Islam” nampaknya perlu dikumandangkan kembali. Buya Hamka menjelaskan bahwa Ahmadiyah tidak diragukan lagi memang keluar dari ajaran Islam. Akan tetapi, dalam kerangka dakwah, kita harus berusaha untuk bergaul dengan baik bersama mereka. Sebagian di antara mereka memeluk Ahmadiyah hanya karena warisan orang tua, dan tak ada referensi untuk perbandingan. Siapakah yang tahu siapa di antara mereka yang akan bisa menerima panggilan hidayah?
Para ulama sejak dahulu telah mendebat Ahmadiyah secara intelek. Kekafirannya dinyatakan jelas secara akademis. Adapun cara-cara kekerasan dikhawatirkan justru menutup peluang dakwah, karena hanya melahirkan kebencian. Kita juga perlu mengingat pesan Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam buku “Fiqih Dakwah”-nya yang fenomenal. Dalam amar ma’ruf nahi munkar, kita harus pertimbangkan beberapa kemungkinan. Adakalanya kemaksiatan hilang, berganti dengan kebaikan. Ini yang terbaik. Akan tetapi, bisa saja kemaksiatan yang kita kritisi hilang, berganti dengan kemaksiatan lainnya yang sebanding. Yang paling parah adalah bila kemaksiatan berganti dengan kemaksiatan yang lebih parah. Ini 'kecelakaan’ fatal dalam dakwah. Menyimpangnya hasil dakwah dari tujuan asalnya ini berkaitan erat dengan metodenya. Itulah sebabnya ada fiqih dakwah.
Kita harus menjaga diri dari sikap ekstrem. Baik yang radikal maupun yang liberal sama-sama ekstrem. Mengatakan bahwa Ahmadiyah itu tidak sesat tidak dapat dibenarkan, demikian juga merusak dakwah dengan penggunaan kekerasan. Mari kita pelajari kembali sikap Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan para ulama yang selalu menjaga sikap ‘pertengahan’ ini. Berhati-hatilah dengan sikap ekstrem, karena mudah dimanfaatkan pihak-pihk lain. Sudah berkali-kali intelijen merekayasa gerakan radikal. Kita harus belajar dari sejarah.
Untuk Jamaah Ahmadiyah Indonesia, cara paling baik agar tidak saling mengganggu adalah dengan memproklamirkan diri sebagai agama tersendiri, agama Ahmadiyah, dan bukan bagian dari Islam. Dengan demikian keberadaannya akan dilindungi oleh undang-undang, keyakinannya akan dilindungi oleh HAM, dan umat Islam tidak akan merasa terusik serta bisa hidup berdampingan secara damai. JAI dapat bebas menjalankan ibadahnya, tanpa paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun. Selama JAI masih membawa nama Islam, maka JAI akan terus dianggap melakukan penistaan agama, karena mengajarkan dan mendakwahkan paham yang merusak ajaran agama tertentu.
Dipihak lain, Negara melalui Kejaksaan Agung harus bertindak tegas, dengan menetapkan status hukum bagi organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Dibubarkan, atau membentuk agama baru. Sikap yang mengambang dari pemerintah inilah yang menjadi pemicu dari tindakan main hakim sendiri dari masyarakat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Manado, February 2011
Manado, February 2011
0 comments:
Post a Comment