Haruskah kita tarbiyah??

HARUSKAH SAYA TARBIYAH??

Seorang sahabat bertanya, tentang apakah ia harus mengikuti tarbiyah (liqoat)?? Ia adalah seorang lulusan pesantren, hafalan diatas rata-rata. Hampir seluruh materi liqoat (paling tidak materi-materi awal) sudah ia pahami. Syahadatain, ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, dst sudah dipahaminya sejak di pesantren dahulu. Lantas, masihkah ia harus tarbiyah??

Sahabat saya tadi bukanlah orang pertama, dan mungkin belum akan menjadi yang terakhir yang bertanya seperti pertanyaan diatas. Masalah ini sudah sering sekali terjadi. Tetapi tetap saja bagi sebagian ikhwah/akhwat masih kesulitan menjawab masalah tersebut.

Paling tidak, ada pendekatan yang keliru ketika memahami bahwa tarbiyah (liqoat) hanyalah seputar materi belaka. Ini menjadikan liqoat kita menjadi liqo yang materialistis (hanya mengejar materi). Padahal jika materi yang dikejar, tidak perlu lulusan pesantren pun bisa jadi sudah menguasai materi-materi ini.

Sudah puluhan buku ditulis tentang materi-materi tarbiyah, dan ratusan buku penunjang tarbiyah lainnya, semuanya sudah dijual bebas. Siapapun bisa membeli dan membacanya. Pun penyusunannya juga sudah menggunakan bahasa yang sederhana (bukan lagi dalam bahasa Arab menggunakan panah-panah seperti materi Rasmul Bayan di awal). Targetnya, semuanya bisa memahami materi tadi. Baik dia sudah tertarbiyah maupun belum tarbiyah.

Jadi, jika materi-lah tujuannya, niscaya bubarlah tarbiyah kita. Paling tidak ada beberapa hal yang ada dalam tarbiyah sehingga bahkan seorang kiay besar pimpinan pondok pesantren pun tetap mengikuti tarbiyah. 

Beberapa hal itu, antara lain:

Ø  Muwashoffat
Ini adalah inti dari tarbiyah kita. Tarbiyah yang berbasis muwashaffat. Tujuan, sasaran tarbiyah. Adapun materi-materi tadi disusun untuk mencapai muwashaffat ini. Tidak perlu semua materi disampaikan. Jika dirasa muwashaffatnya telah terpenuhi, beberapa materi boleh tidak diberikan, atau sekedar penugasan saja.
Ada 10 muwashaffat tarbiyah, mulai dari Salimul Aqidah (aqidah yang selamat), Shahihul Ibadah (ibadah yang shahih),  Matiinul khuluq (akhlak yang mulia), Qadirun ‘alal kasbi (berpenghasilan), Mutsaqqaful fikr (pemahaman yang luas), qawiyyul jism (Jasad yang kuat), Mujahidun Li Nafsihi (Bersungguh-sungguh dengan dirinya), Munazzham fi Syu’unihi (terpelihara dalam urusannya), Haritsun ‘ala waqtihi (Terjaga waktunya), dan Nafiun li Ghairihi (Bermanfaat bagi yang lain)

Parameter-parameter turunannya jelas dan terukur. Dan sekali lagi, ukuran ketercapaian muwashaffat ini bukanlah sudah paham atau tidaknya peserta tarbiyah terhadap materi-materi tarbiyah ini, tapi sejauh mana muwashaffat ini betul-betul hadir dalam diri setiap da’i. Dan hal ini tidak mungkin tercapai hanya dengan membaca bukunya saja. Perlu ada orang lain yang menjadi cermin, melihat ketercapaian diri ini akan ciri pribadi yang Islami yang dituntut oleh muwashaffat diatas. Semuanya lebih mudah dicapai ketika bersama-sama dalam kelompok halaqah tarbiyah.

Ø  Jamaah
Hal yang lain yang akan diperoleh dalam kelompok-kelompok tarbawiyah kita adalah bergabungnya kita dalam sebuah jamaah, utamanya jamaah dakwah. Dalam sebuah haditsnya, dari Umar bin Khattab ra Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang ingin mendapatkan wangi syurga, maka hendaklah ia selalu bersama jamaah, karena sesungguhnya syaithan senang bersama orang yang sendirian, dan ia akan lebih menjauh dari dua orang” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). Dalam sabdanya yang lain Rasulullah SAW melarang untuk menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Kebersamaan dalam sebuah jamaah adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Pun dalam beramal, Allah SWT menjanjikan pahala yang jauh berlipat ganda bagi orang yang beribadah secara berjamaah dibanding yang beribadah secara sendirian.

Karena itulah, tarbiyah ini melalui kelompok-kelompok halaqah sebagai sebuah jamaah amal, menuntut dan mengajarkan kita selalu beramal jama’i. Bekerja, melaksanakan tugas-tugas dakwah, dan merancang program-program dakwah dilakukan secara berjamaah, terorganisir dalam sebuah jamaah. Hal ini tentu saja tidak meninggalkan kewajiban amal fardhi (secara pribadi), tetapi amal ini dilaksanakan dan dievaluasi (di mutabaah) dalam halaqah tadi serta mendorong lahirnya fastabiqul khairaat. Dengan begitu beramal jadi lebih mudah karena dilakukan dalam sebuah jamaah.

Ø  Harakah dakwah
Dalam bukunya “Menuju Jamaatul Muslimun”, Syaikh Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir berkata bahwa keterlibatan seorang muslim dalam sebuah jamaah minal muslimin saat ini adalah sebuah kewajiban. Sejak runtuhnya kekhilafahan Islam paa 1924 M, umat Islam memang tercerai berai dan mendapat gempuran baik secara lahiriyah maupun fikriyah dari seluruh sisi. Hilangnya kebanggaan akan Islam, lunturnya akhlaq Islam, dan pola pikir yang hedonis materialis, adalah sebagian hasil dari gempuran-gempuran tadi.

Seburuk apapun sebuah kekhilafan, masih lebih baik dari pada hidup tanpa pemimpin. Runtuhnya kekhilafahan menjadikan Islam seperti sebuah lading subur yang tanpa penjaga. Semua kalangan berebutan ingin mengambil, mencaplok, dan menguasainya.

Karenanya, banyak tokoh-tokoh pemikir dan mujaddid Islam mencita-citakan untuk kembali membangun sebuah kekhilafahan. Salah satu harakah yang bercita-cita untuk membangun kembali harakah Islamiyah yang telah runtuh itu adalah jamaah tarbiyah ini.

Ada 7 tingkatan amal (maraatib al-‘amal) yang dituntut dari seorang peserta tarbiyah, mulai dari Ishlah al’Fard (perbaikan diri), takwin bait al-muslim (membangun keluarga muslim), irsyaad al-mujtama (membimbing masyarakat), tahrir al-wathan (membebaskan negeri), ishlah al-hukumah (memperbaiki pemerintahan), tauzi’ ats-tsarwah li shalih al-ummah (mempersiapkan seluruh potensi untuk kemashlahatan ummat), hingga akhirnya menghadirkan Islam sebagai ustadziah al-‘alam (guru bagi alam semesta), memimpin dunia dengan kepemimpinan Islam.
Halaqah kita adalah sel terkecil dari kerja besar dakwah memperbaiki ummat ini.

Ø  Mutabaah
Hal yang tak kalah penting yang terwujud dalam halaqah kita adalah adanya proses mutabaah (evaluasi), baik mutabaah proses ketercapaian muwashaffat kita, juga mutabaah program-program dakwah kita.
Hal inilah yang membedakan dakwah ini dengan dakwah yang lain. Metode dakwah ada yang berbentuk tabligh, ta’lim, maupun halaqah. Semua metode itu punya kelebihannya sendiri, namun proses mutabaah hanya akan berlangsung efektif dalam kelompok-kelompok kecil, dalam liqoat-liqoat kita.

Proses mutabaah ini pula yang menjadi salah satu kekuatan dari proses tarbiyah ini. Adanya kesinambungan program, dan evaluasi yang jelas menjadikan gerak dakwah tidak berjalan di tempat, atau maju dengan tanpa arah. Proses mutabaah menjadikan amal yaumiyah (amal harian) seorang peserta tarbiyah terjaga. Proses mutabaah menjadikan proses muhasabah bisa lebih terdorong. Proses ini pula yang menjadi kunci dari manajemen dakwah kita.

Ø  Ukhuwah
Hal berikut yang dihadirkan dalam proses tarbiyah di halaqah-halaqah kita adalah hadirnya ukhuwah yang erat, ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah yang mengikat kita lebih dari ikatan sedarah, tapi diikat dengan amal-amal Islami. Persaudaraan dalam Islam.

Ada 3 tingkatan ukhuwah yang dibangun melalui halaqah kita, yaitu ta’aruf, tafahum, dan takaful. Ta’aruf adalah proses kenal-mengenal, hingga tingkat pengenalan yang lengkap. Mengenal dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan lain-lain. Tafahum adalah saling memahami, satu tingkat diatas taaruf. Ikhwah dituntut untuk bisa saling memahami dengan ikhwah lainnya. Paham kebiasaan-kebiasaannya, hal yang disukai atau tak disukai, serta paham kondisi dan masalah ikhwah lainnya, utamanya saudaranya dalam halaqahnya. Tingkatan ukhuwah terakhir adalah takaful. Takaful adalah saling menanggung beban. Inilah puncak ukhuwah kita. Takaful adalah proses dimana beban seorang ikhwah, turut ditanggung bersama oleh ikhwah yang lain. Tak ada beban yang terlalu berat tuk dibagi, dan tak ada yang terlalu ringgan tuk ditanggung sendiri. Inilah inti ukhuwah Islamiyah,ukhuwah yang dibangun melalui proses tarbawiyah kita.
***
Pemaparan-pemaparan diatas adalah beberapa hal yang seharusnya hadir dalam kelompok-kelompok halaqah kita, sehingga proses tarbawiyah menjadi lebih hidup dan mengikat. Sebuah ikatan yang lahir dari buah keimanan yang diatasnya diletakkan perangkat-perangkat tarbawiyah. Perangkat ini yang kemudian menjadi sebuah sistem yang memiliki daya penggerak, daya perubah, dan daya pendorong yang cukup kuat untuk menjadikan ikhwah peserta tabiyah mampu menjalankan roda gerak dakwahnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah tiap halaqah kita telah terwujud seperti ciri-ciri diatas?? Pertanyaan wajar yang timbul ketika membandingkan proses idealita tarbawiyah dengan realita halaqah kita. Dalam sebagian halaqah yang ada, ciri-ciri diatas memang belum terlalu tampak. Ini karena ada hal lain yang juga terwujud dalam halaqah, yaitu:

Ø  Belajar sepanjang hidup
Islam mengajarkan kita untuk belajar sepanjang hidup. Begitu juga tarbiyah kita. Tarbiyah adalah proses seumur hidup, sepanjang usia. Proses yang berjalan secara sistemik, dengan target-target pencapaian seperti diatas. Begitulah tarbiyah mengajarkan kita, sehingga proses diatas akan terbentuk, menyatu dalam diri-diri para da’i peserta tarbiyah. Tarbiyah adalah perjalanan dakwah seumur hidup, sepanjang hayat masih dikandung badan.

Kehidupan ini sejatinya adalah proses pembelajaran, belajar dari orang-orang terdahulu, belajar dari lembaga-lembaga formil atau pun non formil, belajar dari pengalaman, dan tentunya belajar hidup dari kehidupan itu sendiri. Jadi tarbiyah (belajar) sepanjang hidup adalah sebuah tuntutan jaman, tuntutan keadaan, dan yang paling penting adalah tuntutan agama ini.


Jadi, haruskah kita tarbiyah??

0 comments:

Post a Comment